Buih Duka di Lautan Senyuman
Ini pengalaman
getir saya sebagai pendidik. “Ternyata yang tidak lulus itu anak saya pak,”
lirih seorang Ibu saat saya sibuk membagikan amplop pengumuman hasil kelulusan.
Padahal baru beberapa detik amplop itu diterimanya. Sore itu, Selasa
(20/5/2014), memang serentak diadakan pengumuman kelulusan UN tingkat
SMA/SMK/MA sederajat.
Info tentang
adanya siswa gagal saya ketahui sejam sebelum pengumuman. Oleh Wakabid
Kurikulum, dibisikkan bahwa kelas yang saya binalah asalnya. Sontak, semangat
itu hilang. Obrolan teman pun tak lagi saya hiraukan. Fokus pikiran saya hanya
satu. Bagaimana menyampaikan kabar tak enak ini ke orang tua siswa? Bagaimana
reaksinya? Dan bagaimana pula saya bisa menjelaskannya?
Rasa bingung
melanda ketika petugas Tata Usaha (TU) membagikan amplop kuning putih itu.
Jantung berdetak begitu kencang. Keringat dinginpun mengalir begitu deras. Rasa
bersalah perlahan datang. Makin menumpuk meski sudah dihibur kolega. “Udah
kayak guru galau,” celetuk seorang diantaranya.
Aula gedung
sekolah dipadati hampir 1000 hadirin. Membuat sore yang sejuk itu mendadak
panas. Mikropon beralih ke tangan Kepala Sekolah. Sesaat, pikiran mulai tenang.
Sang Kepsek memang ahli diplomasi, paling tidak itu yang saya tahu. Dengan itu,
beban akan terbagi merata. Bukan untuk membuang tanggung jawab, tapi lebih
mudah bagi saya untuk menjelaskan ke orang tua siswa yang gagal itu.
Hingga Kepsek selesai orasi, nampaknya orangtua siswa mulai curiga; bahwa ada yang gagal. Bisik-bisik sekilas para wali murid memang mengarah kesana. Wajah cemas diiringi penasaran begitu dominan. Rupanya pengumuman kelulusan didaulat ke pihak Yayasan.
Hingga Kepsek selesai orasi, nampaknya orangtua siswa mulai curiga; bahwa ada yang gagal. Bisik-bisik sekilas para wali murid memang mengarah kesana. Wajah cemas diiringi penasaran begitu dominan. Rupanya pengumuman kelulusan didaulat ke pihak Yayasan.
“Kelulusan
mencapai 99,85%,” ucap beliau. “Kami ingin sekali menghantarkan anak Bapak/Ibu
kegerbang kelulusan, namun takdir berkata lain. Nilainya tidak mencukupi. Guru
hingga Kepala Sekolah sudah berusaha maksimal. Namun inilah kenyataan,” terang
pimpinan yayasan.
Rupanya,
pernyataan yayasan membuat sang ibu (yang anaknya gagal) tadi cukup paham.
Walaupun jelas, raut kekecewaan tidak dapat disimpan. Menunggu selesai
membagikan pengumuman untuk orang tua siswa lain, Ibu tadi berdiri disamping
saya. Dalam hati saya menerka, mungkin beliau punya 1000 kenapa yang akan
dilempar, termasuk kepada saya.
“Bagaimana ini
pak? Kok bisa begini?,” Tanya beliau. Wajah murungnya diselimuti duka. Kontras
dengan senyum dan letupan kegembiraan orang tua siswa lain. Dukanya, persis
buih di lautan. Tidak terlihat, namun ada.
Saya giring ibu itu mendekat ke Kepala Sekolah, sekali lagi, bukan untuk melepas tanggung jawab, melainkan memastikan beliau mendapat jawaban yang memuaskan.
Saya giring ibu itu mendekat ke Kepala Sekolah, sekali lagi, bukan untuk melepas tanggung jawab, melainkan memastikan beliau mendapat jawaban yang memuaskan.
“Kami mohon maaf
atas (kegagalan siswa) ini buk. Semuanya sudah bekerja keras, namun ini sudah
diputuskan,” ucap sang Kepala Sekolah. “Nilai ananda hanya kurang 0,1. Banyak
penyebab. Mungkin human error (kesalahan pengisian LJK), dan lain-lain.”
Sesekali saya
menenangkan sang siswa. Baginya, dan juga orang tuanya, ketakutan tidak hanya
pada kegagalan. Namun umpatan dan ejekan teman, keluarga, dan lingkungan
menjadi penyebab.
“Yang terpenting
dari kegagalan adalah upaya untuk bangkit,” lanjut Kepala Sekolah. “Gagal di UN
bukanlah kiamat. Gagal UN bukan akhir segalanya. UN hanya jembatan, bukan
penentu menuju masa depan,” lanjutnya.
Sembari mendapat
alternatif pilihan untuk menebus kegagalan, sang ibu mulai tenang. Sore itu,
duka sang anak dan ibu menjadi buih di lautan senyuman. Semoga Allah punya
rencana lain, nak. Insya Allah. Asal kita mau berusaha.
Suryaman Amipriono
Post a Comment