El Classico di Amir Hamzah (2)
Siang itu, cuaca cukup cerah.
Stadion Amir Hamzah yang dirancang tanpa atap itu penuh sesak, oleh rimbunan
perdu (kirain penonton). Hamparan rumputnya halus, tertata, tak jauh beda
dengan rumput Highbury miliknya the Gunners Arsenal.
Para WAG’S (bagi yang nggak tahu
kepanjangannya, cari di gugel ya) mulai berdatangan. Disisi lawan tampak lady
Diana Rosa, Ade, serta cewek kece lain. WAG’s pendukung tim kami juga tak kalah
menggoda. Tampak Airin Mulida, dengan menggunakan syal Bolish di dada. Demikian
juga dengan Rahma. Hayani Wardah bahkan rela mencat rambutnya dengan warna
kebanggaan tim, hitam polos. Disampingnya duduk manis Reny Widya.
Deretan wanita cantik itu diharapkan
mampu membangkitkan semangat juang tim. Sebelum kick off, pemain yang belum
pada makan siang itupun melakukan warm up. M. Guntur yang tidak fit 100 % saya
paksa untuk bermain. Dia berlari kecil didampingi fisioterapis M Aulia Citra
Nugraha. Sesekali ia masih terlihat menahan nyeri. Cedera di jari telunjuknya
akibat terkena pisau waktu memotong ubi kayu itu belum juga sembuh.
Prriiiiitt.. Peluit dibunyikan. Pertanda
pertandingan yang dilaksanakan hanya 1 babak ini dimulai. Pertandingan yang
tidak dipimpin wasit ini berlangsung begitu ketat, bahkan sejak awal
pertandingan.
Determinasi, kecepatan, serta
pressing tinggi ditunjukkan kedua tim. Tim I-6 mendominasi diawal-awal. Berkali-kali
mereka melakukan penetrasi ke gawang tim Bolish, julukan kami. Pertandingan
yang disaksikan ribuan pasang mata itu semakin ramai oleh supporter tuan rumah,
tim Amir Hamzah. Tak ayal, tukang cendol dan es krim pun turut kebagian rejeki.
Memasuki menit ke 10, tim I-6 melakukan
counter attack. Sayap lincah mereka Antonius “Conte” Panjaitan menusuk dari
sisi kiri pertahan Bolish. Dia leluasa menari tanpa ada kawalan. “Seharusnya Rendra
disitu menutup ruang gerak, tapi mana dia kok ngilang?” gumamku.
Ternyata posisi kanan dalam Rendra
disalahtafsirkan menjadi kanan habis olehnya. Dia pun menepi keluar lapangan,
kepanasan dan kecapekan. Kecepatan Antonius membuat nafas gepenya itu
kedodoran. Memasuki kotak penalty, Antonius yang tinggal berhadapan dengan
Erick tak langsung mencocorkan bola ke gawang, tapi dia mengirimkan umpan menyusur
tanah ke striker mereka, Doan. Gawang yang memang telah kosong mampu ditaklukan
dengan mudah. Nol-satu, kami tertinggal.
Saya kecewa sekaligus marah. Topi
Dagadu kucel kesayangan Rendra jadi sasarannya. Saya banting ketanah. “Mana man
to man marking kalian,” teriak saya dari sisi pinggir. Ferry terlihat berdiskusi
kecil dengan Rani. Sementara GPK terlihat memarahi Rendra yang gagal
mengantisipasi gerakan Antonius. Sedangkan Erick terlihat sesekali memperbaiki
posisi sarung tangannya yang terlepas.
Suasana El Clasico semakin
memanas. Auranya menggelegar, membara, menyelimuti setiap helai rumput lapangan
Amir Hamzah. Kilatan blitz kamera juru warta bersahut-sahutan. Saya berusaha
memompa semangat tim. “Come on guys, let’s do the best…come on come on…” Teriak
saya memberikan motivasi. Tampak Faisal mengacungkan jempol kearah saya (bukan
jari tengah ala Zamrud) memberi respon.
Sementara Endi sesekali menyeka
keringat dengan kaos (kaki) nya. Di tim lawan, ekspresi kegembiraan melanda, euforia
terlihat jelas diwajah mereka. Fachrizal Akbar tampak merangkul ke sesama
pemain.
Dari bangku cadangan saya melihat
sesuatu yang aneh. Ada sosok pemain yang kelihatannya bukan pemain asli I-6.
Pemain gempal ini begitu energik, lincah. Gerakan dengan dan atau tanpa bolanya
mampu mengecoh tim kami. Sosoknya sangat mirip dengan pemain Argentina, Carlos
Tevez. Pemain yang belakangan dikenal sebagai Agus Salim Sitanggang ini
ternyata pemain impor dari I-4. Saya sempat protes ke pengawas pertandingan,
tapi apa daya, ancaman kartu kuning membuat saya mengurungkan niat.
Pertandingan pun dilanjutkan.
Misi kami mencetak gol balasan. Untuk itu jalan satu-satunya harus menyerang.
Aliran bola terlihat ke arah lawan. Kali ini Guntur menjadi kreator (serangan).
Sesekali ia mengumpan ke Endi, dan tanpa menahan bola mengalirkannya ke duet
striker. Dari jantung pertahanan I-6, Rani tampak mengolah bola, tak-tik tiki-taka
revolusi dari total football nya Belanda ini mampu diterjemahkan dengan apik
oleh skuat.
Rani mengumpan ke arah Ferry. Dengan
gerakan tanpa bola Ferry berlari menusuk. Bola diterima oleh Guntur, dengan sedikit
gocekan ia mengumpan ke Ferry. Disana ada bek tangguh menghadang, tanpa menahan
bola, Ferry melepaskan tendangan geledek. Keras. Sangat keras. Kiper lawan tak
bergerak. Terpana menyaksikan derasnya aliran bola.
Namun sayang tendangan itu
dimentahkan mistar. Penonton histeris. Saya segera saja beranjak dari bench. Bersiap
melakukan selebrasi. Waktu seolah-olah berhenti. Sayup-sayup suara komentator
berteriak (minta tolong). Pun demikian dengan Wag’s. Namun apa daya, si kulit bundar membentur dan jatuh ke
pertahanan lawan.
Sejurus kemudian, tim lawan melakukan
counter attack. Pergerakan Antonius melesat, bola diumpan ke arah Agus
Salim Sitanggang. Sementara saya lihat, sisi pertahanan Bolish entah kemana. Ke
empat bek sejajar tak terlihat sama sekali, konon lagi kwartet gelandang. Baru
tersadar kalau fisik mereka habis.
Rendra –yang sebelumnya kanan
dalam- menjadi kanan habis. Demikian si Endi, kiri habis. Tinggal lah Ijal
sendiri. Dia tunggang langgang mengejar Agus Salim. Sementara Erick memang
sudah sedari tadi meninggalkan gawang setengah lapangan, untuk membantu
serangan.
Tak ayal, tanpa komando, saya
berlari menuju arah gawang, membantu pertahanan. Namun tetap saja kalah cepat
dari lawan. Agus salim begitu superior. Dengan mudah ia menceploskan dan
merobek jala gawang (yang memang tidak ada jalanya tersebut). Nol-dua kami
tertinggal.
Hingga peluit di bunyikan, tim tak
mampu mengejar ketinggalan. Tampak wajah lesu menyelimuti anggota tim. Guntur,
Rani, dan Ferry sangat terpukul dengan kekalahan ini. Mereka bahkan menolak
untuk menukar jerseynya dengan lawan.
Sementara Rendra tertawa kecil
sembari barteran kostum miliknya dengan Ismail. Sedangkan para WAG’S tak henti-hentinya
memompa semangat, sambil sesekali menyanyikan lagu penggembira, dari Stinky,
Mungkinkah.
Saya mendekati dan menyalami
mereka satu persatu, sambil meyakinkan bahwa ini kekalahan terhormat. “Statistic
berbeda jauh dengan hasil dilapangan. Shot on goal kita unggul jauh, demikian
juga dengan ball possession. Bahkan kita unggul dalam perolehan kartu kuning.
Kita hanya kalah di skor.” cutus saya penuh semangat. Dan tim pun menyadari hal
itu.
Inilah
kekalahan yang membanggakan. Edisi El Clasico jilid pertama, namun sayang, kami
tak diberikan kesempatan untuk membalas. Paling tidak, tim menjadi lebih dewasa.
Post a Comment