Kritis Di Hari Lahir (2-Habis)
Detik demi detik berlalu. Dodi masih saja semaput, belum ada
kemajuan. Melihat posisinya yang kurang nyaman di kursi, Dodi kami pindahkan ke
atas tempat tidur. Om Udin datang melihat, menyusul Ayah, Buk Iyus dan anaknya
Yuda.
Dodi terlihat masih saja kesulitan bernafas meskipun masker
oksigen terpasang. Sesekali ia batuk. Saat itu kami makin terkejut. Karena
batuknya mengeluarkan darah. Itu yang membuat kami makin panik. Tangisan pun
pecah. Mamak berulang kali terisak, demikian dengan Buk Iyus. Saya yang sedari
tadi menunggu Dodi, juga tak kuasa menahan air mata.
"Buk, bisikin anaknya ya. Dia akan lebih mengenal suara
mamaknya," ucap lirih seorang Ibu yang seruangan kepada mamak. Sementara
saya tak hentinya memandang ke sekujur tubuh Dodi. Kakinya yang bengkak itu
dingin, namun tangannya masih tetap hangat.
Ayah yang biasa tegar, juga terisak. Berulang kali dia minta
dokter untuk cepat bertindak. "Bila perlu masuk ICU," kata Ayah.
Sementara Om Udin bolak-balik berkomunikasi dengan keluarga yang lain.
Dokter mulai menangani Dodi. Petugas lab mengambil sampel
darahnya. Dodi yang biasa menjerit ketika diambil darah, kini diam. Dia
berbaring ke kanan. Kami berusaha membuatnya berbaring telentang. Karena di
bawah leher kanannya, terdapat selang ganda, double lumen. Selang itu tertanam
beberapa centi ke pembuluh darahnya Dodi, untuk proses HD. Kami khawatir,
selang itu terlepas.
Benar saja, saat Dodi kembali telentang, mamak melihat selang
itu seperti mencuat keluar. Tak ingin menambah derita Dodi, mamak meminta saya
menghubungi petugas HD di lantai dasar. Tak ingin jauh dari Dodi di masa
kritisnya, saya menyuruh Yuda.
"Yud, bilang ke petugas di ruang HD, selang double lumen
Dodi keluar. Minta dibenerin ya," ucap saya ke Yuda penuh harap.
"Cepat ya Yud," timpal saya lagi.
Tak sampai 10 menit, yang ditunggu pun datang. Namun bukan
petugas seperti biasa, melainkan dokter spesialis penyakit dalam yang biasa
stand by di ruang HD.
"Kenapa si Dodi," tanya dokter wanita itu. Tak lama
kemudian ia mengambil staetoskop. Karena dilihat ada yang tak beres dengan adik
saya itu, ia langsung ambil tindakan.
"Ini paru-parunya penuh air, harus di HD untuk
menguranginya," cetus dr Olga Yanti. "Tapi nanti harus ada
persetujuan keluarga, karena frekuensi HD yang jadi 3 kali seminggu. Termasuk
jika ada tambahan biaya," katanya lagi menjelaskan. Dokter itu pun lantas
beranjak ke ruang pusat perawat. Mungkin berdiskusi tentang prosedur
adiministrasinya kepada perawat.
Beberapa saat kemudian saya dipanggil ke ruang perawat itu.
Disitu mereka meminta konfirmasi, tentang kemungkinan adanya tambahan biaya.
Proses HD Dodi selama ini memang ditanggung BPJS. Jatahnya 2 kali HD seminggu.
Jika ternyata menjadi 3 kali, kami siap membayar. Asalkan Dodi bisa pulih.
Maghrib pun datang saat Dodi di bawa ke ruang HD. Pada jam
segitu, pasien biasanya sudah sedikit. Saat Dodi dibawa masuk, beberapa petugas
yang selama ini akrab dengannya heran.
"Semalem sehat, sudah mau pulang, kenapa kok drop lagi
Dod," papar salah seorang petugas yang berkaca mata itu.
"Cemmana nggak ngedrop, diminumnya air itu banyak-banyak.
Terendam lah paru-parunya," ucap petugas satunya lagi, yang paling senior.
Herannya saya, mereka terus saja mengajak Dodi bercanda, seperti menyayangkan
Dodi yang banyak minum. Padahal Dodi belum lepas masa kritisnya, menurut kami.
Mesin hemodialisis itu pun berputar. Darah Dodi perlahan masuk
melalui selang transparan, dari salah satu selang double lumen di bawah leher.
Dipompa, dibersihkan, dan dikurangi kadar airnya. Kemudian masuk kembali
melalui selang satunya lagi.
Kurang lebih 2 jam dicuci darahnya, Dodi tampak sedikit tenang.
Ia pun mulai bisa berkomunikasi. Tapi belum sepenuhnya sadar. Dari caranya
menyapa, Dodi jelas nampak trauma dengan sesak napasnya tadi.
"Mamakku, sini mak. Dodi bisa sembuh kan mak?" Bisa
kan mak?" Katanya manja. Saya tahu, ini bukan Dodi yang sebenarnya.
"Ibukku sayang, cium Dodi buk. Ibuk sayang sama Dodi
kan?" Kata Dodi pada petugas yang paling senior tadi. Kata mamak, buk Evi
namanya.
"Iya, besok minum sebotol besar Aqua itu ya," kata buk
Evi sembari mengejek Dodi.
Meski bisa sedikit lega, namun Dodi tak bisa lepas dari masker
oksigennya. Selepas HD, sepanjang malam Dodi masih trauma dengan kejadian itu.
Dodi mendapat pengalaman tak terlupakan, tepat di hari ulang tahunnya, 1
Oktober.
Lega Setelah Dua Kali HD
Kata mamak, Dodi tak bisa tidur di sepanjang malam Kamis itu.
Dia gelisah kesana-kemari. Nafasnya masih terasa sesak, meski tak separah Rabu
sore itu.
"Tenyata cairan masih menyelubungi paru-parunya. Terutama
berasal dari kaki," kata dokter. Hal ini lantas menjadi pertimbangan untuk
dilakukan HD ulang.
"Tapi kita konsul dulu dengan spesialis, karena khawatir
terjadi kardiogenik," kata dokter itu lagi.
Setelah serangkaian proses, Dodi masuk ruang HD sekitar jam 5
sore. Di sini, Dodi kembali menjalani pemisahan cairan selama 4 jam.
Di Kamis sore itu pula, Fika telah menyiapkan bolu ulang
tahunnya Dodi. Meskipun telat sehari, perayaan sederhana ini kami harap mampu
mengenjotnya untuk terus semangat.
Dodi yang terlelap selama proses HD membuat kami tenang. Bukan
karena cukup waktu beristirahat, melainkan nafasnya yang tak lagi menggunakan
bantuan masker oksigen.
Post a Comment