Percikan Teladan di ‘Sepatu Dahlan’
Saya tidak
pernah secengeng ini sebelumnya. Apalagi untuk sebuah tontonan. Tapi, saya yang
biasanya tertawa melihat orang menangis, kini ‘terpaksa’ menangis bahkan pada
saat adegan tertawa ditontonan itu.
Sungguh ini
bukan film biasa. Bukan seperti sinetron ‘kacang goreng’, yang memajang drama
sedih mendayu-dayu. Sedihnnya film ini menyeret kita tentang nilai perjuangan,
semangat, inspirasi dan keteladanan.
Siang itu Medan
diguyur cahaya. Mentari terik menyengat hingga kelapisan pori kulit. Memaksa
diri untuk betah berdiam diri mencari sejuk, tanpa minat ke mana-mana. Namun
sekali lagi, si bungsu Dahlanis itu mampu merayu.
“Bagi yang ingin
nonton Sepatu Dahlan, hari ini kumpul jam 14.30 di Palladium,” demikian bunyi
status FB milik Ardi Iskan Ansari itu. Status yang langsung digempur dengan
komentar dan kesepakatan bertemu. Walaupun akhirnya disepakati Medan Plaza
sebagai lokasi nonton bareng, tak seincipun semangat kami berkurang.
Medan yang hari
itu amat terik membuat kami menepi ke kafe termurah (maklum suasana akhir bulan
meski di awal bulan). Segelas jus kami rasa cukuplah untuk mengusir dahaga.
Saya, Ferry Sumarlen (Abu Ariq Al-Mabari), dan Ardi sudah standby. Menunggu
teman lain yang sebelumnya sepakat untuk ikut.
Tiap detik
berlalu, hingga sore pun menjelang. Jadwal nonton pukul 14.40 yang semula
dijanjikan bergeser menjadi 16.50. Ini semua demi kebersamaan. Mengingat banyak
‘saudara’ lain yang ingin bergabung bersama kami.
Satu persatu
teman yang ditunggu mulai nampak. Rika Febriyanti misalnya. Dengan membawa
tentengan yang berisi mukenah dan sepatu DI-19, dokter muda nan cantik itu
menghampiri. Karena jadwal yang masih lama, akhirnya ‘ngetem’ dipilih untuk
mengusir waktu. Texas Fried Chicken menjadi pilihan. Kami yang kepanasan tidak
menampik tawaran untuk menikmati coke dingin, meskipun awalnya malu-malu.
Menjelang
tayang, satu persatu teman pun datang. Yang membuat kami terkejut adalah
hadirnya 3 orang mahasiswi IAIN yang tidak kami kenal. Dua perempuan dan satu
lelaki. Ternyata, mereka merupakan pemenang tiket nonton gratis yang
diselenggarakan Ardi Ansari via BBM. Caranya mudah. Yang tercepat bisa
memaparkan prestasi Abah jadi pemenang. Hebat. Ardi memang hebat. Dia punya
seribu cara untuk mengkampanyekan Abah.
Setelah
kedatangan bang Yusufi , Mustar dan rekannya, kami masuk ke arena bioskop.
Ditemani pramuniaga cantik, kami diantar hingga ke deretan bangku pesanan.
Sebaris bangku itu penuh diisi Dahlanis. Meskipun belasan, tapi tetap semangat.
Sementara penonton lain mengisi deretan bangku kosong lainnya, meskipun tidak
semua terisi. “Mungkin yang nonton di jadwal pertama tadi ramai, sehingga
sekarang berkurang,” pikir saya dalam hati.
Sesaat kemudian,
suasana hening melanda. Ratusan penonton diam terkesima. Sedari awal, film yang
disutradarai Benni Setiawan ini menampilkan adegan yang alami. Dengan settingan
suasana 60-an membuat penonton hanyut.
Saya yakin, film
ini bukan untuk mengeksploitasi kemiskinan keluarga Dahlan Iskan. Tapi lebih
dari itu. Sutradara ingin membagikan pesan. Bagaimana keluarga yang amat sangat
sederhana itu teguh memegang prinsip. Bagaimana mereka hidup, dengan kemuliaan,
dengan tekad mengubah nasib, dengan kerja keras, tanpa menghiba atau meratap.
Bagaimana sang kepala keluarga (ayah Dahlan) menyiapkan aset satu-satunya yang
paling berharga dalam hidupnya : anak.
Tiap adegan
serius saya hayati. Makna hidup dan keteladanan terpercik merata. Terkesima
melihat gigihnya perjuangan sang ayah dan ibu, tak terasa air mata ini kok berlinang.
Tidak ada yang special dalam adegan itu sebenarnya. Namun tekad menyekolahkan
anak tertua hingga kebangku kuliah, serta kerja keras demi melanjutkan
sekolahnya Dahlan meskipun dalam balutan kemiskinan membuat saya takjub.
Air mata makin
berlinang tatkala melihat bagaimana sulitnya Dahlan untuk sekolah. Puluhan
kilometer harus dilalui dengan berlari. Menembus medan berat, melewati hutan,
ladang petani dan pabrik gula dengan kaki telanjang. Sama sekali tidak beralas
kaki. Tanpa sandal, konon lagi sepatu mewah. Bukan hanya sehari, namun setiap
hari. Herannya, ini dilakukan dengan senang hati. Akibatnya, kaki Dahlan
melepuh. Lecet. Namun luka itu tak menghalangi niatnya untuk maju. Tak ada
sedikitpun mengeluh. Baginya, dan juga ayahnya, pilihan hidup terbaik : Kaya
dalam iman, dengan kerja keras.
Penonton tetap
betah terhenyak, meskipun sesekali diiringi tawa. Bang Yusufi yang duduk persis
disamping, tak kuasa menahan tangis, meski sesekali disamarkan dengan suara
batuk kecil. Sementara Ferry, meskipun mencoba untuk menghayati, namun tetap
tak dapat menyimpan kegusaran. Rupanya cetak perdana tabloid garapannya
‘Trimedia Pos’ sudah siap kirim. Jadilah HP-nya berdering setiap saat.
Kembali lagi
tentang film. Kepergian sang Ibu, membuat cobaan hidup Dahlan kecil semakin
berat. Rasa sedih semakin menyayat hati. Dahlan menangis sesunggukan. Teringat
pesan ibu akan membelikan sepatu, membuat Dahlan menangis di balut kain tenun
sang Ibu. Adegan ini membuat saya tak dapat menahan linangan air mata. Sekali
lagi bukan karena cengeng. Hanya membayangkan betapa berat perjuangan untuk
sekolah, tanpa ibu yang membantu ayah mencari nafkah.
Dahlan kecil
harus menjaga sang adik selepas peninggalan Ibu, apalagi ketika ayahnya kerja
ke Madiun. Perjuangan hidup semakin berat terasa. Apalagi disaat sang adik
merasa lapar. Rasa yang tak tertahan. Dahlan mencari makanan disekitar rumah.
Membongkar tumpukan kain dalam lemari, melihat seisi atas rak, melihat dibawah
kasur, mencari hingga keseluruh dapur, hanya untuk mencari uang atau makanan
yang tertinggal.
Sementara sang
adik terus menahan lapar, Dahlan malah mengikat perut adiknya,”untuk menahan
lapar” terang sang kakak.
Ada banyak
teladan yang dikisahkan. Hingga akhirnya Dahlan bisa memperoleh sepatu
kesayangan. Satu lagi pelajaran hidup. Bahwa mengeluh tidak dapat menyelesaikan
masalah. Bahwa kerja keras mampu mengusir deraan kemiskinan. Dan bahwa film
‘Sepatu Dahlan’, memberi percikan keteladanan.
Post a Comment