Nasibmu Njol, Njol…
Klepak…..klepok, ……klepok. Toples kosong bekas wadah ikan
hias itu berulang kali mendarat di kepala si bocah kecil. Panjul. Begitu saya
sering memanggil (nama aslinya sih keren). Sore itu dia sedang sial. Hobinya
kali ini bukannya membawa suka. Namun sedikit luka. 

Pintu pagar belum lagi terbuka penuh saat Panjul menegur
saya. “Pulang bang,” gitu katanya. Tangan kanannya membawa botol bekas coklat
wafer. Saya lihat isinya ikan laga. Ada satu ekor. Sementara tangan kirinya
membawa botol mineral kemasan 1,5 liter yang sudah dipotong bagian tutupnya. Juga
berisi ikan laga.
“Ikh, banyak kali ikanmu Njol,” kata saya. “Berapa tuh ko
belik?” lanjut saya, sembari menanya. Namun, si Panjul tak menjawab. Tatap matanya
tiba-tiba kosong. Seperti sedang memperhatikan sesuatu, yang serius.
Karena tak dijawab, saya langsung saja membuka pagar. Untuk kemudian
lanjut memasukkan kereta (sepeda motor) ke dalam rumah. Maksudnya, ingin
melihat ikan laga si Panjul tadi. Ingin juga mencari tahu, berapa harganya,
beli dimana, dan jenisnya apa saja. Anak saya si Dini, sejak libur Imlek
kemarin sudah merengek. Minta dibelikan ikan laga itu. Maklum, sedang musimnya.
Soalnya, teman-teman perempuannya, yang sebaya, juga sedang menggandrungi itu.
Namun ternyata yang terjadi justru diluar dugaan saya. Wanita
berbaju hitam, bercelana boxer pendek, dan berlipstik itu tiba-tiba saja
memarahi Panjul. Beliau ibunya. Marahnya (maaf) membabi buta. Padahal kejadiannya
persis di depan tetangga saya. Yang menjual lontong malam. Dan ramai pembeli
pula.
“Kau ni ya, seharian entah kemana aja. Entah hapa-hapa yang
ko belik,” teriak Ibu Panjul. Toples-toples yang dipegang Panjul pun berpindah
tangan. Ikan-ikannya dibuang. Dipijak-pijak. Cara memijaknya seperti sedang
membersihkan kaki yang basah di atas keset.
Toples yang sudah kosong itu, yang masih ada sedikit airnya,
tak lantas juga dibuang. Namun digunakan untuk memberi pelajaran bagi anaknya,
si Panjul. Hingga terdengar cukup nyaring.
“Klepak,…..klepok.” Dan (sekali lagi terdengar). “Klepok.” Saya
lihat, si Panjul bukannya nangis. Dia justru mengambil ikan-ikan yang sudah
terjatuh tadi, dari atas rumput. Begitu dilihat ibunya, ikan itu dibuang
kembali. Dirampas dari tangan si Panjul. Lantas, dipijak kembali oleh ibunya.
Saya ingin sekali melerainya. Namun kejadiannya masih
terlihat wajar. Bukan seperti yang di film-film itu. Bukan juga tergolong KDRT
(Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Tapi, KSBDJ (Kasih Sayang Berlebihan Di Jalan),
mungkin. Pikir saya.
Tak lama, si Ibu berlalu. Sambil terus-menerus mengomel di sepanjang
jalan yang dilaluinya. Memang sudah begitu tipenya. Mau di bilang apa lagi. Nasibmu
lah Njol, Njol. (sap)
Post a Comment