Terperangkap di Kota Binjai Yang Sejuk
Saya terperangkap dinginnya kota Binjai hari ini. Kota yang
terkenal dengan rambutannya itu, memang begitu sejuk, bahkan sejak dari gerbang
pintu masuk. Beda dengan Medan, kota tempat saya tinggal.

Meskipun berada pada dataran rendah (28 meter diatas
permukaan laut), namun udara Binjai memang sungguh sejuk.Sejuknya dibarengi
dengan rasa dingin menyengat. Bahkan hingga ke ubun-ubun. Seperti di pagi ini.
Saya menduga, keasrian yang masih bertahan ikut menyumbang
andil. Binjai memang asri. Masih cukup banyak pepohonan, lahan hijau, juga
hutan-hutan kecil. Seperti di sekitar daerah tempat saya bertugas.
Di situ, saya selalu melewati kawasan pemukiman yang berada di
tengah-tengah hutan kecil. Beberapa ratus meter menjelang tempat saya bertugas.
Karena tak ingin kehilangan sejuknya, helm dan masker selalu saya buka,
menjelang masuk ke kawasan itu. Dengan mengurangi kecepatan motor, saya
melihat-lihat, memandang hijaunya dedaunan, sambil mengambil oksigen sebanyak
mungkin. Yang tak saya dapat di sepanjang perjalanan.
Kawasan ini pula yang mengingatkan saya ketika masih kecil
dulu. Suasananya persis sama. Asri. Sangat asri. Khas pedesaan. Tanaman perdu
menghampar. Daun-daunnya masih basah. Embun seolah tak mau lepas dari sana.
Persisi puluhan meter berikutnya, deretan tanaman sawit. Ada
juga beberapa tanaman coklat disana. Yang mungkin sengaja ditanam oleh si
pemilik lahan. Sedangkan dibawahnya, pucuk-pucuk daun nanas berurai. Rapi berbaris.
Seolah-olah tumbuh liar. Nanas-nanas ini, begitu gemuk.
Ketika kecil dulu, saya selalu ingat. Pantang lihat nanas. Begitu
ada yang sudah besar, maka pasti sudah kami ambil. Lalu membuat bumbu rujak. Lalu,
ya menyantap. Menyantapnya juga dengan jambu air. Lazis. Hehehe…
Binjai, saya suka sejukmu..
Post a Comment