Raise Up Indonesia-1: Brain Wash Ala Diklat Koperasi
Saya merasa sangat beruntung. Sebuah materi bagus bisa saya
dapat hari ini (Sabtu, 23/05). Pada sebuah acara diklat yang tergolong biasa,
yang diselenggarakan pada tempat amat biasa, namun dengan narasumber dan
pembahasan yang luar biasa: Diklat Koperasi.
Materi yang menarik perhatian rerata peserta itu adalah
Brain Wash. Cuci otak. Karena pembahasannya dilakukan dalam diklat yang hanya
diselenggarakan selama 3 hari. Dan dengan dana yang amat terbatas pula,
pengerjaan Cuci Otak ini, tentu, (mungkin) tidak semahal seperti yang pernah
dilakukan oleh idola saya: Dahlan Iskan.
Waktu itu, beliau, oleh dr Terawan, melakukan ‘cuci otak’
yang sesungguhnya. Dengan menyemprotkan cairan pada gorong-gorong yang dirasa
buntu, pada saluran di bagian otaknya.
Sedangkan yang saya dan 29 orang peserta lain rasakan, sama
sekali sederhana. Tanpa tindakan medis sama sekali. Namun dengan manfaat yang
saya rasa sama: Brain Wash Deep Cleaning. Cuci otak dengan tingkat kebersihan
yang sebenar-benarnya.
Prinsip cuci otak ala Instruktur Nasional dalam bidang
perkoperasian, Sajadin Sembiring Ssi MSc, ini sederhana. Kira-kira hampir sama
seperti rumus matematika. Bahwa bilangan positif, jika dikalikan dengan
bilangan negatif, maka hasilnya akan negatif. Tapi, jika bilangan positif itu dikalikan
dengan bilangan positif, maka hasilnya akan positif pula.
Pengandaian yang disampaikan oleh sang instruktur ini,
terkait dengan pola pikir kebanyakan peserta, dan juga masyarakat lain, yang
cenderung pesimis. Padahal sikap pesimis bisa menjadi hambatan untuk maju. “Bagaimana
mau maju, kalau semua rencana baik dan bagus dikatakan sulit untuk dilakukan,”
kata sang narasumber.
Lantas, bagaimana sikap pesimis itu bisa mengurat akar? “Karena
otak kita selalu dicekoki oleh berita-berita dan hal-hal negatif,” kata si
narasumber.
Semua jenis hal-hal negatif. Mulai dari gosip, berita
kriminal, isu perceraian artis, aksi peran antagonis dalam sinetron, dan
sebagainya. Karena hal-hal yang negatif ini, maka otak akan mengeluarkan output
yang negatif pula. Termasuk untuk melakukan perbaikan dalam, segala hal.
Cara untuk memperbaiki pola pikir itu, menurut narasumber,
dengan mengkonsumsi hal-hal positif bagi otak. Terutama kabar dan berita
positif, semisal, berita pertumbuhan ekonomi. Prestasi-prestasi atlet nasional,
dan sebagainya. Dengan perilaku itu, otak akan mendapat suges positif. Sehingga
pola pikir menjadi lebih positif, dan realistis.
“Dengan menjaga itu (‘mengkonsumsi’ berita dan hal-hal
positif), otak akan terbiasa mengeluarkan output yang positif juga,” kata
narasumber.
Dengan ‘otak yang sudah bersih’, peserta diklat dianggap
memiliki modal besar untuk memajukan koperasinya. Terlebih koperasi merupakan
satu-satunya lembaga bisnis yang berazaskan kekeluargaan dan gotong royong. Koperasi
itu beda jauh dengan perusahaan yang umumnya bersifat kapitalis.
Perusahaan kapitalis dimiliki oleh segelintir orang. Menjalankan
bisnis untuk mencari keuntungan. Dan keuntungan itu, dibagi-bagikan bagi si pemilik
modal (saham) saja.
Beda jauh dengan koperasi. Koperasi menjalankan bisnis untuk
mensejahterakan anggota. Modal dan keuntungan menjadi tanggung jawab anggota. Sehingga,
jika bisnis mendapat keuntungan, maka seluruh anggota berhak menikmati
keuntungan itu.
Cuci otak ala koperasi ini, membuat peserta menjadi
tertantang dengan potensi pengembangan koperasinya. “Toh (koperasi) ini punya
Bapak/Ibu. Usaha Bapak/Ibu. Yang untung dan rugi Bapak/Ibu. Kenapa sampai
sekarang belum juga maju? Ayo kita porsir pikiran untuk mengembangkan usahanya,
agar kita bisa sama-sama sejahtera,” kata narasumber. Jelas. Tegas. Dan berapi-api.
Ternyata banyak manfaat yang bisa saya dapat dari satu hari
pertama pelatihan ini. Bahwa lembaga koperasi itu memang bagus untuk
dikembangkan. Apalagi dengan azas kekeluargaan dan gotong royongnya.
Koperasi harus bangkit. Lupakan masa kelam dulu. Ketika masih
jaya-jayanya KUD (Koperasi Unit Desa). Kala itu, KUD sepertinya terlihat jaya,
namun anggotanya tidak. Sehingga sering ada plesetan, KUD= Ketua Untung Duluan.
Post a Comment