Sentilan Melalui Amanat
Jarang-jarang ada materi yang begitu menarik ketika upacara
bendera. Kecuali yang saya dapat pada upacara hari Senin, pagi ini. Nyaris,
perhatian saya tak pernah melayang pada sepanjang amanat, yang kira-kira
berdurasi 15 menit itu.
Materi yang disampaikan sih sebenarnya tergolong biasa. Namun karena disampaikan dengan pemberian analogi pada waktu yang pas, saya menganggap amanat hari ini efektif. “Masuk ke dalam relung hati sanubari, seandainya saya siswa” gumam saya.
Analogi pertama, membuat saya berkesimpulan: “penyampaiannya
(amanat pembina upacara) ini mungkin bisa jadi hebat.”
Sang pembina menyampaikan sebuah analogi sederhana kepada
peserta upacara. Ini untuk menyentil sebagian siswa, yang terdengar samar-samar
tertawa, ketika petugas upacara, yang juga siswa, melakukan kesalahan.
“Sebuah pohon besar saja bisa mati karena diejek,” kata
pembina, ketika menceritakan tentang salah satu suku di pedalaman hutan Amazon,
dahulu.
“Karena merasa kesal, penduduk secara beramai-ramai mengejek
pohon itu, hingga akhirnya mati. Nah, apakah kalian ingin membangun budaya
seperti itu? Mematikan semangat teman kalian. Kesalahan itu biasa, dan bukan
untuk menjadi bahan tertawaan,” demikian kata pembina, tegas. Sontak saja,
suasana upacara menjadi hening, dari yang sebelumnya terdengar samar-samar sedikit
riuh.
Inti dari amanat ini disampaikan pada beberapa menit
berikutnya. Penyampaian pembina seolah-olah membuka nurani siswa. Apakah pendidikan
yang mereka jalani sekarang, merupakan kebutuhan, atau malah keterpaksaan?
Bahwa pendidikan itu kebutuhan primer, yang harus dipenuhi, jika
ditilik dari segi usia mereka saat ini. Namun, dengan penurunan derajat minat
belajar siswa kebanyakan, sepertinya mereka tidak butuh. Padahal pendidikan
sekarang jauh lebih murah, juga mudah.
Celakanya, menurut pembina, ada siswa yang sekolah karena
terpaksa. Ini bertentangan dengan niat, dan isi amanat Mendikbud pada
peringatan Hari Pendidikan Nasional, Sabtu lalu.
Mendikbud, seperti petuah Ki Hajar Dewantara, menyatakan
bahwa sekolah itu harus seperti ‘Taman’. Yang bisa menjadi tempat belajar yang
asyik, juga menyenangkan. Artinya unsur kesenangan dan kesukarelaan itu diperlukan
ketika sekolah.
“Kalau semua karena terpaksa, lebih baik berhenti. Kasihan
orang tua dan guru, juga pemerintah (melalui dana BOS). Berapa rupiah yang
digelontorkan mereka (orang tua dan pemerintah) kepada kalian. Sejak bangun
tidur, hingga tiba di sekolah, semua itu berbiaya. Coba kalikan. Berapa tahun
sudah kalian bersekolah,” kata pembina, siswa khidmat mendengarkan.
Ini lah amanat yang menyejukkan, membangkitkan semangat,
dengan sedikit sentilan. “Setengah jam lagi berdiri, saya rasa masih sanggup
mendengarkan amanat dari Bapak ini,” bisik teman seprofesi dari belakang,
sesaat pembina menutup amanatnya.
Isi pembicaraan memang menggambarkan kapisitas seseorang. Termasuk
pembina upacara Senin Pagi ini: Adriadi Chaniago MPd, teman saya yang juga
calon Doktor pendidikan itu. (sap)
Post a Comment