Cerita Pahit Asmara Subuh: Adu Sprint Dengan Herder (1)
Dahulu, setelah sahur dan salat
subuh, sebagian warga Medan biasanya mejeng di jalanan. Ada yang cuci mata,
main mercon, pawai sekaligus pamer kereta (sepeda motor). Bahkan ada juga yang
sempat-sempatnya untuk cari jodoh. Pelakunya kebanyakan remaja. Adapula dewà sa
dan anak-anak. Campur jadi satu.
Entah siapa yang memulai tradisi
asmara subuh. Termasuk yang saya lakukan suatu pagi di bulan puasa itu, sekitar
dua puluhan tahun yang lalu.
Niat awalnya hanya lihat-lihat
sebentar. Tak ingin berlama-lama. Karena hari itu saya harus masuk sekolah.
Tapi karena diajak teman, asmara subuh yang harusnya menggembirakan hari itu,
hampir berbuah malapetaka.
Tato, tetangga saya, yang hampir
seumuran, namun sedikit lebih tua, tiba-tiba menghampiri ketika saya khidmat
menyaksikan perang mercon (petasan) roket di jalanan depan gang.
"Man, kita jalan-jalan
yok," katanya bersemangat, dari atas sepeda sejenis bmx tua, yang cat nya
pudar, serta ban depan dan belakang hampir gundul.
"Kemana bang, aku nanti mo
sekolah," jawab saya ragu, seolah tidak mau, tapi lebih banyak mau nya.
"Raon-raon kita. Deket-deket
sini aja," katanya merayu. Tanpa pikir panjang, saya ikuti ajakannya.
"Ayoklah."
Ketika itu saya mengenakan baju
kaos, celana pendek, jam tangan Boy London, serta peci hitam. Sarung yang saya
gunakan untuk salat subuh tadi, masih diselempangkan di pundak.
Pikiran saya tiba-tiba tak enak.
Ban depan sepeda Tato
tiba-tiba saja menyusuri rute yang lebih jauh. Penasaran, ingin melihat-lihat
kota Medan, membuat kami merubah rencana.
Gelap hampir habis saat kami tiba
di Simpang Glugur. Waktu itu kami tiba-tiba saja ingin ke Lapangan Merdeka.
Tato, si rider bmx imitasi butut,
bertanya kepada saya," Belok mana kita Man?"
"Nggak tau aku bang, cak
teros ajah," jawab saya ragu.
Tato berpikiran saya tahu jalan.
Saya pun juga mengira Tato tahu rute jalan. Sehingga bisa ditebak, kami jadinya
jalan-jalan, untuk mencari jalan, menuju Lapangan Merdeka.
Setelah ratusan meter berada di
jalan Putri Hijau, kami tiba di simpang tiga, sehabis melewati rel. Namanya
jalan Putri Merak Jingga. Dulu namanya jalan Gudang. Kondisinya masih sunyi,
sempit, dan belum seramai sekarang.
Saat itu, kami makin bingung. Mau
terus (waktu itu jalan Putri Hijau masih dua arah), atau belok kiri menuju
jalan Gudang.
Sempat berdebat singkat, kami
akhirnya belok kiri. Menuju jalan Gudang, yang sekarang menjadi pusat penjualan
komputer.
Rumah penduduk masih mendominasi
di jalan Gudang, waktu itu. Rata-rata berpagar kayu. Rimbunan rumput terhampar
begitu lebat.
Mungkin karena sunyi, pemilik
rumah menempatkan beberapa asisten penjaga. Bukan satpam. Atau hansip,
melainkan anjing. Rata-rata berjenis herder dan doberman.
Bersambung.....
Post a Comment