Cerita Pahit Asmara Subuh: Adu Sprint Dengan Herder (2)
Lanjutan...
Niat jalan-jalan berubah jadi kejar-kejaran
Saya yang dibonceng pada bagian
belakang sepeda Tato, tiba-tiba merasa gelisah.
"Agak cepet ko dayongnya
bang," lirih saya kepada Tato, sambil menepuk-nepuk pundaknya. Tato pun
mempercepat kayuhannya.
Sial.
Rupanya kedatangan kami
sudah sedari tadi diperhatikan. Semenit kemudian, suasana hening di jalan
Gudang menjadi gaduh dan hiruk pikuk. Seekor herder lari mengejar kami. Mungkin
ia terganggu oleh suara decitan rantai sepedanya Tato.
Kecepatan lari si herder rupanya
dua kali lipat suara gonggongannya. Tiba-tiba saja herder itu tinggal beberapa
meter di belakang kami. Penuh keringat sambil terbata-bata, saya berulang kali
menepuk-nepuk pundak Tato.
"Bang cepet dayongnya, dah
di belakang aku dia."
Tato pun panik. Sesaat kemudian,
kedua kakinya kembali mengayuh. Kali ini lebih cepat. Lebih bertenaga. Dan
lebih bersemangat. Semangat terlepas dari uberan herder.
Akibat full power itu, bmx
kawenya Tato KO. Tanpa kami duga, ban depannya terlepas dari garpu sepeda
kesayangannya itu. Terang saja, kami tersungkur.
Adu sprint, Mardi Lestari pun Kalah
"Brukkk!!"
Tato nyungsep. Menindihi stang
sepedanya. Sementara saya, juga jatuh, nyaris berlutut di belakangnya. Kami
berharap, si herder menyudahi aksi kejar-kejaran. Atau minimal membantu
memasang ban sepeda. Namun kenyataan berkata lain. Nalurinya membuat kami harus
adu sprint.
Seketika, saya mengajak Tato
lari. Soalnya herder sudah begitu dekat. Tapi rupanya dia punya rencana lain.
"Jangan lari man, jongkok
aja. Anjing takot sama orang jongkok," jelas Tato berteori.
Si herder mendekat. Mengamati
kami yang sedang kempas-kempis. Bodinya cukup bongsor. Lidahnya yang menjulur,
seolah menunjukkan taringnya yang tajam.
Sambil terus menatap, liurnya
sesekali jatuh. Badan kami yang ceking, mungkin dianggap menu sarapan yang
lazis.
Mata saya melirik bergantian.
Sesekali ke arah Tato, sesekali ke herder hitam. Di bawah ancaman herder, Tato
masih sempat-sempatnya meraih ban depan sepedanya yang lepas tadi.
Setelah dapat, ban itu hendak
dipasangnya. Tato terlalu banyak bergerak, herder curiga. Belum sempat
terpasang, si herder mulai menunjukkan gelagat aneh. Saya sudah pasang
ancang-ancang. Selop Jepang (sandal karet) berpindah, ke pergelangan tangan.
Ketika herder mulai mengendus
kaki, saya tancap gas. Demikian juga Tato.
"Lari cepet bang, mau
nggigit dia," teriak saya. Skenario jongkok gagal total. Apes!
Saya lari sekuat tenaga. Hawa
panas mulut herder yang terasa di pergelangan kaki, membuat saya meluncur
sekencang-kencangnya. Jalan Gudang sudah seperti lintasan lari. Kecepatan
kamipun mungkin sudah melewati Mardi Lestari, sprinter nasional asal Sumatera
Utara itu. Saya ingat betul kejadian ini.
Sementara itu, Tato berlari di
samping saya. Kasian dia. Tangan kanannya membopong ban, sedangkan yang kiri
membopong bodi bmx. Padahal saya berulang kali mengingatkan, ketika sedang adu
kecepatan.
"Lepasin sepedanya bang,
tinggal ajah."
Tanpa menoleh, kami terus saja
berlari. Sugesti kejaran herder membuat saya tahan adu sprint, padahal biasanya
tidak begitu.
Herder Nyerah, Kami Bebas
Kejar-kejaran dengan herder
akhirnya usai. Kami tak lagi melihatnya setelah sampai di depan TVRI. Mungkin
si herder kalah cepat. Mungkin kelelahan. Atau bisa jadi ia nyerah.
Tato ngos-ngosan. Saya apalagi.
Oblong yang saya pakai tadi basah. Posisi sarung pun entah bagaimana.
Sudah hampir jam 7 pagi. Masalah
kedua datang. Saya harus ke sekolah. Karena jika tidak, bisa habis saya ‘dicuci’
nenek.
Waktu itu, sekolah masih aktif
ketika puasa. Tidak seperti sekarang, libur.
"Kau naek sudako aja
Man," kata Tato.
Karena ada uang pecahan gopek,
saya akhirnya naik sudako. Uang ini modal untuk beli mercon yang saya urungkan.
Tato pun saya tinggal.
Dan Lapangan Merdeka
yang kami tuju pun, belum sempat kami capai.
Post a Comment