Tempus Yang Tak Disengaja
Ayo
jujur? Ketika kecil dulu anda pernah tempus (tembak puasa/buka puasa diam-diam)
kan? Saya pernah. Tapi tidak disengaja. Loh, kok bisa? Ya kira-kira begitu.
Penasaran? Berikut ceritanya.
Saya masih SD
ketika itu. Kira-kira kelas 1atau kelas 2. Saya tak ingat persis.
Karena
'dianggap' masih kecil itu lah, nenek melatih saya untuk berpuasa.
Puasanya
beneran. Tapi waktunya tidak full. Alias setahannya. Maksudnya, ketika saya
merasa tak tahan, atau tak sanggup untuk melanjut, saya diperbolehkan menyerah:
berbuka (dengan melambaikan tangan ke kamera, ups, itu dunia lain ya).
Suatu siang di
bulan ramadhan, mentari begitu terik. Temperaturnya panas. Demikian pula di
dalam rumah nenek. Seperti di sauna. Apalagi dinding rumahnya terbuat dari
papan. Tak ada kipas angin, apalagi AC.
Berusaha
menahan haus, ketika itu saya memilih tidur. Di sofa ruang tamu. Saya memang
terbiasa tidur siang di situ. Dari sebelum puasa.
Udara yang
panas membuat keringat bercucuran. Apalagi kain sofanya nenek terbuat dari
bahan biasa, yang murah, sehinggak tidak menyerap keringat.
Beberapa saat
setelah terlelap, saya terbangun. Tiba-tiba saja. Setelah tersadar, saya
rasakan kerongkongan begitu kering. Haus keles. Tak terkira.
Biasanya,
ketika sebelum puasa, saya langsung menuju dapur untuk minum. Nah, kali ini
kebiasaan saya itu berulang. Hal yang (tak) diinginkan pun terjadi.
Terhuyun-huyun
menuju dapur, cangkir plastik merah langsung saya ambil, dari rak piring besi.
Mata masih mengedap-ngedip. Belum terbuka sempurna. Otak pun masih loading.
Belum sadar kalau saya sedang puasa.
Haus yang
sangat membuat saya membuka panci. Bibik biasanya meletakkan air siap minum
yang telah dimasak di situ. Bukan di ceret.
Kemudian,
cangkir merah itu berisi penuh air putih segar yang siap untuk diminum. Airnya
dingin. Meskipun tak di kulkas. Ciri khas air sumur yang dimasak.
Glek..glek..glek,...
akhhh. Air di cangkir merah itu membasahi kerongkongan saya. Rasanya begitu
segarrr. Bagaikan gurun yang gersang dibasahi hujan. Hausnya pun seketika
hilang. Saya masih tetap belum sadar.
Masih ada sisa
sedikit air, di cangkir. Mata saya mulai terbuka penuh. Menatapi kompor, panci-panci
yang peot, batu gilingan, wajan gosong, dan minyak lampu, otak saya mulai
loading. Ketika hendak menghabiskan sisa air itu, barulah teringat kalau saya
sedang puasa.
"Wuadduhhh..
mati aku. Bisa diomelin nenek ni kalok tau," pikir saya. Saya memang dibesarkan oleh nenek ketika kecil.
Pikiran saya
bercabang, antara membayangkan ceramah nenek, dengan sisa air yang masih ada di
cangkir. Hausnya nanggung. Sayang kalau tak diminum.
Ada 10 detik
saya termenung di situ. Sementara cangkir merah masih saya pegang.
"Kalok
pun mintak buka, pasti dikasinya, tapi ini kan nggak sengaja," gumam saya.
Akhirnya,
cangkir saya letakkan. Sisa air minum yang segar tadi, masih ada. Tidak jadi
saya habiskan.
Dengan kondisi
yang lebih baik, saya menuju sofa kembali. Niatnya melanjutkan puasa. Karena
sudah ketiban rezeki siang ini.
Tak lama
kemudian, nenek terbangun. Saya sudah mempersiapkan mental. Beliau hendak ke
kamar mandi untuk wudhuk. Dilihatnya saya, beliau menghampiri.
"Mau buka
puasanya Man?" tawar nenek.
Saya bingung.
Kalau mau buka, saya masih sanggup, karena rezeki tadi. Kalaupun mau lanjut,
saya khawatir puasa saya sudah batal. Karena saya tak tahu minum yang tak
disengaja tidak membatalkan puasa. Maklum, masih kecil. Ilmu agamanya masih
dangkal.
Akhirnya,
nenek menyodorkan saya minuman. Air putih dari panci, di cangkir merah. Lalu,
dia masakin saya telur, untuk santap siangnya.
Post a Comment