Sahur Injury Time di Rumah Budi (2-Habis)
Sudah hampir jam 12
malam. Kira-kira 4 jam lebih menjelang imsak. Kawan-kawan pada masih asyik
main. Yang menang lanjut, sedangkan yang kalah ganti.
Pada saat rehat ketika kalah ini
lah curcol nya lanjut. Yunan berkeluh kesah kepada kami. Mulai dari bisnis
mebelnya yang mulai bangkit, serta gebetannya yang tak kunjung dapat.
Pun demikian dengan Agus.
Mahasiswa salah satu universitas negeri ini hampir frustasi. Karena terus gagal
mengambil hati pria idamannya, eh, gadis idamannya.
Dari obrolan ini kami paham
tentang kesibukan masing-masing. Agus, Acong, dan saya masih kuliah. Boy baru
merintis karir di kejaksaan. Deka mulai terjun di dunia asuransi. Yunan dan
Budi menekuni wirausaha mebel ketika itu. Sementara sohib kami lainnya, Sopian
dan Zulfi, tak diketahui keberadaanya. Misterius.
Asyik cerita, saya tertidur.
Karena malam juga sudah sangat larut.
Puas terlelap, tiba-tiba saja
saya terjaga. Sekitar jam 3.30 pagi. Imsak kira-kira satu jam lebih lagi.
Tatapan mata saya lempar ke
sekeliling. Melihat kawan-kawan yang lain. Semuanya juga masih pada pulas.
Layaknya sinetron, tidur mereka
diiringi suara latar. Ngorok. Mendengkur. Suara dengkuran itu begitu kerasnya.
Dolby stereo.
Suara itu datang dari dua sisi.
Acong di kiri, sedang Agus di kanan. Dengkuran itu bergantian. Agus nada
rendah: "ghrooookkkk.."
Sedangkan Acong sedikit lebih
tinggi: "Cekkkhhiii....," simfoni yang sempurna.
Posisi tidur kawan-kawan
berantakan. Seperti korban tsunami. Berubah total dari ketika masih ngobrol
tadi. Saya jadi terpingkal. Ngantuk pun nyaris hilang melihat pemandangan ini.
Budi dan Yunan ada di kamarnya
Budi. Keduanya berada pada satu bed. Yunan masih terus saja lelap mesti
kepalanya di bawah ketek (ketiaknya) Budi.
Kami berlima tidur di bawah. Di
depan TV dan PS yang masih menyala. Boy ada di samping Acong. Tampaknya mereka
pemenang malam ini.
Posisi tidur Agus yang paling
sial. Dia sudah ada di kolong meja makan. Hampir dua meter dari tikar. Mungkin
Agus ditendangi Deka. Karena kakinya yang jenjang itu hanya berjarak beberapa
mili dari wajahnya.
Apesnya, jempol kaki Deka yang
segede kunyit itu, hampir nempel di hidung Agus. Sabar ya Gos.
Karena tak ada
tanda-tanda akan sahur, saya pun lanjut tidur. "Mungkin Budi sudah nyiapin
makanan," pikir saya, mengharap.
"Woi, bangooonnn,"
suara itu seperti ada di awang-awang. Halus dan sangat pelan. Berulang-ulang.
Badan saya pun terasa diguncang-guncang.
Saya baru terbangun ketika
disentuh. Rupanya itu Budi. Dia mungkin segan membangunkan kami secara paksa.
"Kerinan (kesiangan) kita,
bangunin yang laen biar aku masak dulu," kata Budi.
Hampir jam 5. Radio mengabarkan imsak
tak lama lagi. Saya bingung. Bergegas, saya bangunkan
kawan-kawan. Yunan membangunkan Acong dan Boy, sedangkan saya membangunkan Agus dan Deka. Jempol kaki
Deka, masih ada di situ. Di hidung Agus.
Budi selesai masak indomi ketika
kami semua bangun. Bukannya bingung, kawan-kawan malah ketawa. Lucu melihat
kejadian ini. Agus berulang kali mengusap-ngusap hidungnya. Matanya merah. Saya
senyum melihatnya. Tak tega menyampaikan kepada Agus, tentang penderitaan
hidungnya tadi.
Ketika mengambil piring, bel
pertanda imsak di radio berbunyi. Suaranya meraung-raung. Injury Time.
"Selo aja woi, yang penting
jangan sampek azan Subuh," kata suara itu.
Semuanya pada lahap. Kami hanya
punya maksimal 9 menit lagi. Formasi di PS tadi digunakan. Empat kali kunyah,
dua kali telan.
Semuanya sudah pada selesai
makan, ketika sayup-sayup terdengar suara ngaji di masjid. Tak ada kumur-kumur.
Apalagi sikat gigi. Bisa makan sahur saja sudah syukur.
Selesai subuh, kami semua beranjak
pulang. Beraktivitas kembali setelah semalaman di charging batinnya. Bisa
kumpul dengan kawan-kawan SMP sungguh menyenangkan. Apalagi di ramadhan yang
barokah ini.
Miss u all friends.
Post a Comment