Menanti ‘Invasi’ Angkatan Kerja Baru
Sudah cukup kah hanya dengan menamatkan (siswa)? Kalau pertanyaan
ini dilontarkan kepada guru-guru yang mengajar di jenjang pendidikan SMK
(Sekolah Menengah Kejuruan), pasti jawabannya sama: Belum.
Itu kenapa guru-guru di SMK memiliki tanggung jawab ganda. Mereka
tak hanya mendidik, mengajar, melatih, membina, dan mengantarkan mereka (siswa)
ke pintu kelulusan, namun juga memastikannya bekerja. Tidak menganggur.
Menunggu kepastian itulah yang membuat guru-guru itu resah dan gelisah. Seperti lirik lagunya Obbie Messakh yang terkenal itu. Karena bagaimanapun juga, indikator keberhasilan pendidikan di SMK itu: Keterserapan di pasar kerja.
Meskipun begitu, tak mudah bagi para pencari kerja baru untuk langsung bisa bekerja. Tantangannya cukup banyak. Apalagi dengan kondisi yang dihadapi pada saat sekarang ini.
Saya iseng-iseng mengidentifikasi. Kira-kira peyebab apa yang menjadi tantangan mereka ini.
Pertama, semakin gemuknya angka angkatan kerja per tahun. Tahun ini saja, ada lebih dari 2,7 juta angkatan kerja baru tingkat menengah. Mereka terdiri dari 1.171.907 lulusan SMK, dan 1.632.757 lulusan SMA.
Yang lulusan SMA itu seharusnya melanjut ke perguruan tinggi. Tapi ternyata tidak semuanya. “Hanya 60% yang bisa melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi,” kata Mendikbud, Anies Baswedan seperti dilansir jpnn.com. Selebihnya lantas ke mana? Ya mau tak mau harus melebur menjadi pencari kerja.
Lalu bagaimana dengan lulusan SMK itu sendiri. Data Kemendikbud (tahun 2014) memaparkan bahwa 85% lulusan SMK terserap pasar kerja. Data itu sepintas menggembirakan. Jika mengabaikan angka pertumbuhan ekonomi.
Nah, ini yang kemudian menjadi analisa saya berikutnya. Meskipun awam (di bidang ekonomi), saya berusaha mencermati bagaimana lesunya pertumbuhan ekonomi belakangan ini. Data per triwulan I, menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sekitar 4,71%. Cenderung melambat dibanding dengan periode yang sama pada tahun lalu, yaitu 5,14%.
Perlambatan ini, diiringi dengan semakin perkasanya dolar terhadap rupiah. Juga beberapa mata uang asing lainnya. Akibatnya, ekonomi lesu. Bahkan ada yang omzetnya sampai turun hingga 40%. Puncak dari kelesuan ini: PHK.
Saya hanya menarik benang merah. Apakah keterserapan lulusan SMK yang 85% itu cukup ideal dengan kondisi saat ini? Kalau pun toh ternyata tidak, ini yang harus sama-sama dicarikan solusinya.
Kompleks ya. Tapi saya percaya. Ekonomi kita sudah beberapa kali mengalami guncangan. Dan terbukti cukup mampu menahan badai krisis.
Salah satu yang membuat kita cukup kuat yakni, perkembangan usaha kecil dan menengah. Lulusan SMK sudah dipersenjatai dengan keterampilan, dan kemampuan berwirausaha. Duet kemampuan itu, bisa menjadi senjata ampuh, kalau-kalau keterserapan pada pasar kerja minim.
Atau bahkan, sekalian saja dijadikan senjata pamungkas dan andalan. Jadikan berwirausaha itu pilihan pertama. Lulusan SMK harus semuanya jadi pengusaha. Peluang itu cukup besar. Hingga April 2014, entrepreneur di Indonesia baru 1,65%. Masih sangat kecil. Padahal sektor usaha kecil menengah ini, mampu menyerap hingga 97% tenaga kerja.
Dan bila itu terjadi, kita tak perlu takut lagi terhadap serangan dan invasi angkatan kerja baru.
Post a Comment