Kami, 18 Tahun Kemudian

Sore itu sudah seperti suasana 18 tahun yang lalu. Canda dan tawanya lepas. Iseng dan usilnya juga. Gokil dan akrabnya juga larut. Sampai lupa umur.


Acara buka puasa bersama membuat kami, sohib semasa SMP dulu kembali bertemu. Semuanya masih dengan ciri khas nya masing-masing. Belum banyak yang berubah. Kecuali jenggot dan kumis yang dicukur abis. Dan otot yang makin berbobot.

Agenda ini sebenarnya nyaris saja batal. Janji ketemu di awal-awal bulan ramadhan kandas. Semuanya pada memberikan opsi yang sama: “Ok, atur lah, aku ikut aja.” Tapi entah kapan ikut nya. Semuanya pada sibuk.

Untungnya ada Agus. Ajakannya di grup bbm mendapat respon bagus. Temen-temen pada nurut. Dan membuat kesepakatan tentang waktu, tempat, dan di mana kami bertemu.

Jam 6 lebih saya sampai di lokasi, Bakso Mataram Cabang Medan, di Jalan Tengku Amir Hamzah. Rupanya si Fitria dan Agus Salim sudah ada di situ. Mereka ini warga sekampung, di Tembung. Si Fitria lebih dulu mengisi deretan meja kosong, yang telah dibooking Geta sebelumnya.

Kata Geta, meja yang dibooking berada di tengah taman. Rupanya tidak. Mejanya tepat berada di tengah pintu masuk. Makanya saya tak langsung tanda dengan si Pipiet Bee (panggilan alay Fitria Sisna) ketika dia melambai-lambaikan tangan. Saya takut salah orang. Saya baru nyengir setelah melihat tanda lahirnya: Tahi lalat di pipi.

Kemudian berturut-turut teman yang lain datang menyusul. Setelah kami bertiga, datang si Khairunnisa. Kemudian Sofyan Fadli. Boy Amali yang berboncengan dengan Budiono, dan Suryani Guntari. Lalu Geta Andriana. Setelah maghrib datang si Hilmi, Muhammad Zulfi, dan Ismail.

Saya, Agus, Sofyan, Boy, Geta, Fitria, dan Zulfi datang sendiri. Sementara Nisa, Ismail, Suryani, dan Budi membawa anak ataupun istrinya. Budi terlihat yang paling sayang dengan anaknya. Penuh perhatian dibimbing si kecil, ketika bermain.

Waktu 18 tahun, tak banyak merubah sifat dasar kami. Masih ada yang sering ngejek, minta rokok, minta diisikan bensin, ataupun minjem pulsa untuk nelpon, tanpa malu. Padahal beli sendiri mampu. Meskipun, tak dapat dipungkiri, karakter kami memang sedikit berubah. Mungkin pengaruh profesi yang kini tengah kami lakoni.

Agus Salim misalnya. Ia kini terlihat begitu ramah. Tata bahasanya sangat teratur. Kaidah bahasanya pun mengikuti EYD. Padahal ia orang Batak, bermarga Sitanggang. Memang, semenjak menjadi Chief Operator  di Telkomsel ia berubah. Lihat saja ketikan bahasanya di grup bbm, belepotan. Bagi yang kangen dengan Agus, bisa menghubunginya gratis di 116.

Fitria Sisna. Taipan HP dan asesorisnya. Sangat terkenal di wilayah Tembung. Orangnya canggih banget. Sehari bisa lima puluh belas kali ganti dp bbm, atau foto profil di fb. Bicaranya pun alay. Konon lagi nama samarannya, hualay. Tapi, si pipit low profil. Tahi lalat yang nempel di salah satu pipinya merupakan yang paling unik di dunia.

Sofyan Fadli Batubara. Ayah dua orang anak ini mungkin yang nggak banyak berubah. Diem-diem ngeselin (banget).  Hehehe, enggak deng. Sofyan kini tengah terjun di perusahaan percetakan. Bisnis itu pelan-pelan ia geluti. Berharap suatu saat bisa menjadi pengusaha percetakan. Dan seandainya itu terjadi, maka teman-teman yang belum nikah, seperti Agus dan Hajatu bisa memesan undangan gratis, 1 lembar saja. Ya kan yan?

Budiono. Di fb namanya Budi Herlino. Biar dianggap keren mungkin. Atau dikirain mirip aktor itu. Budi kini terjun di perusahaan distribusi consumer goods. Dulunya pendiam, tapi semenjak di perusahaan distribusi, nyinyir nya bukan main. Kalau ada yang butuh kecap, bumbu dapur, dan lainnya, hubungi Budiono ya. Biar saya bisa dapat komisinya.

Boy Amali, teman sekampungnya Budi. Ini yang karakternya paling banyak berubah. Bicaranya tegas, lugas, dan terbatas. Maklum, dia seorang Adhyaksa. Kata-kata yang meluncur tak jauh-jauh dari KUHP, pasal-pasal tuntutan, P-19, ataupun P-21. Demikian juga jika sedang berkomunikasi via bbm, atau komen di fb. Kalau yang lain pada berkomen dengan kata-kata, Boy tidak. Paling banter hanya simbol nyengir. Tak percaya, kita lihat saja apa komennya nanti di tulisan ini. Meskipun demikian, Boy tetap luwes. Kami aman jika ber-acara dengannya. Dompet pun lega.

Khairunnnisa. Ramah banget. Senyumnya merekah dan sumringah. Facenya enak dilihat, meskipun saya nulisnya dengan sangat amat terpaksa. Gaya jalannya rapi dan terartur, mesti agak diseret-seret. Karakter itu yang kini terlihat jelas sama si Nisa ini. Sebagai duta pariwisata dia memang harus seperti itu.

Suryani Guntari. Ia masih saja terlihat aktif. Sejak lahir, hingga sekarang. Sebidang profesi dengan Boy, hukum. Bedanya, kalau Boy jaksa, si Suryani ini pengacara, pembela hak anak dan kaum wanita. Semenjak jadi lawyer, nada bicaranya menjadi meledak-meledak. Kadang meletup-meletup. Kadang meledak meletup. Sehingga apar pemadam kebakaran tersedia di rumahnya. Kalau sedang emosi membela hak kliennya, selera makannya nambah. Termasuk pada waktu buka puasa itu. Ketika membahas hukum, mulutnya tak berhenti mengunyah. Bebek goreng dan tulang-tulangnya nyaris disentap.

Geta Andriana. Anaknya tenang. Penuh perhitungan. Mengalir seperti air, bidang usaha yang digelutinya kini. Tampilannya modis, kayak artis (India). Hobinya manjatin pagar rumahnya. Apalagi kalau sampai lupa di mana letak kunci yang ia bawa tadi.

Muhammad Zulfi Syahrin Parinduri. Sekilas mirip aktor, tapi entah siapa, lupa. Zulfi kini menjadi sangat sistematis. Semuanya harus sesuai dengan peraturan, SOP (Standar Operasional Prosedur). Karena kini ia memang berjibaku sebagai konsultan akreditasi. Bahkan ketika makan pun begitu. Mesti dikunyah 32 kali sebelum ditelan. Tapi malam itu, karena laper, terpaksa cukup 4 kali kunyah saja.

Hilmi Aulia. Karena tidak pernah sekelas, tak banyak yang saya rekam tentangnya. Hilmi ini kini pengusaha kuliner. Menjelang lebaran, ia kebanjiran pesanan, sampai mandi pun jarang. Nada bahasanya diplomatis, seperti ibu-ibu PKK.

Ismail. Rumahnya paling dekat dengan sekolah, ketika masih SMP dulu. Jaraknya hanya sekitar 5-7 meter. Tepat di sudut gerbang sekolah. Ia turut gabung bersama kami malam itu. Ismail ini rupanya masih ipar-iparan dengan Hilmi.

Itu lah kami kini. Meskipun tanpa Hajatu Sa’diah yang ngilang entah kemana, dan Deka Tazally 
Damanik yang masih euforia dengan juaranya Chelsea, kami tetap bersyukur. Masih bisa ngumpul. Semoga 18 tahun ini makin mempererat tali silaturahmi kita. Amin.



No comments