'Medan Tempur' Pendidik-pendidik Muda
Ruang wakil kepala sekolah mendadak heboh pada suatu pagi. Seorang guru muda datang menghadap. Dia rekan saya, junior se-almamater. Penuh percaya diri, diutarakan maksud kedatangannya. Kebetulan saya sedang di ruangan yang sama. Sehingga terlibat langsung dalam diskusi itu.
“Saya ingin resign pak,” kata si guru muda. Singkat, to the point. Mata saya yang tadinya betah menatap layar laptop langsung berpaling. Melihat ekspresi si guru muda. Serius, atau kah hanya bercanda.
“Loh, kenapa? Ada tawaran menggirukan dari (sekolah) yang lain?” jawab wakil kepala sekolah. Satu menit awal percakapan mereka ini membuat saya berkesimpulan: Ini serius.
Imajinasi saya langsung melayang: “Kenapa (si guru muda) buru-buru mau resign? Sayang sekali. Padahal karirnya bagus. Kinerjanya baik. Sehingga manajemen pun sepertinya percaya untuk menjadikannya kader. Calon penerus kelak.”
“Tidak ada (sekolah) yang lain. Saya ingin melanjut mengabdi. Mengajar di daerah pedalaman,” jawab si guru muda.
Jawabannya membuat posisi duduk saya berubah, berputar 90 derajat. Saya tertarik. Alasannya yang jauh dari rasional (untuk anak muda seusia si guru muda itu), membuat saya ingin tahu latar belakangnya.
Lama menyelami pembicaraan itu, akhirnya saya tahu tentang program yang akan diikuti si guru muda. Namanya SM3T: Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal. Ini merupakan tahun kedua yang diikuti.
Tahun pertama, beliau ditempatkan di sekolah terpencil di Kabupaten Langkat. Untuk tahun ini, ‘medan perangnya’ akan jauh lebih ganas. Ia ditempatkan di Singkil. Lokasinya di mana belum tahu persis.
Tapi dari tujuan program ini, bisa ditarik garis tegas. Bahwa daerah sasaran merupakan daerah-daerah marginal di Indonesia. Daerah yang listriknya mungkin belum ada. Daerah yang mayoritas penduduknya buta huruf. Daerah yang belum banyak dijamah ilmu pengetahuan.
Atau, kebanyakan masyarakatnya masih terikat kuat dengan adat. Yang masih akrab dengan perang (adat). Angkat senjata. Rawan konflik. Di daerah-daerah seperti itulah peserta SM3T di tempatkan. Contohnya Aceh, Papua, NTT, Natuna dan sebagainya.
Program ini merupakan inisiasi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Bekerjasama dengan DIKTI dan 17 LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan) se-Indonesia, pemerintah berharap membantu daerah 3T untuk bisa maju, secara bersama-sama. Sesuai dengan tagline program ini: “Maju Bersama mencerdaskan Indonesia”. Sehingga ke depan, tak ada lagi daerah yang tertinggal, dan hidup dalam kebodohan.
LPTK yang di tunjuk, bertugas untuk menyeleksi sarjana-sarjana kependidikan yang baru lulus. Dengan catatan selama 3 tahun terakhir. Setelahnya, pendidik-pendidik muda ini, akan diberangkatkan ke daerah 3T, dan mengabdi di sana selama 1 tahun.
Ikut program SMK3T rasanya seperti sedang melaksanakan KKN (Kuliah Kerja Nyata). Apalagi bagi yang baru saja lulus. Yang jiwa kemahasiswaannya masih tinggi. Bedanya, jika KKN menggunakan biaya sendiri, maka SM3T tidak. Pemerintah mengelola program ini dengan cukup baik. Mulai dari tempat tinggal di daerah, bahan makanan pokok, dan sebagainya, sudah diatur.
Selain itu, juga tersiar kabar bahwa, peserta yang telah ikut SM3T setelah satu tahun, secara otomatis mendapatkan beasiswa kuliah PPG (Pendidikan Profesi Guru). Apa itu PPG?
PPG juga merupakan program dari Kementrian Pendidikan. Tujuannya untuk mempersiapkan lulusan S-1 Kependidikan dan S-1/D-IV Non Kependidikan, agar menguasai kompetensi guru secara utuh. Sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan.
Bagi yang telah menyelesaikan PPG, akan mendapat sertifikat PPG. Sertifikat ini, nilainya sama dengan sertifikat PLPG guru yang sertifikasi. Sehingga kualitas guru-guru itu tadi bisa meningkat.
Akhirnya, tertegun saya membayangkan niat guru muda itu. Niatnya untuk memajukan pendidikan, mengalahkan zona nyaman yang dirasakannya sekarang. Jauh dari hingar bingar kota, jauh dari keluarga, dan orang-orang tersayang, tak membuat langkahnya terhenti. Bahkan terus maju.
Sayangnya, pada masa saya belum ada program yang seperti itu.
Post a Comment