Hebat dengan Diagram Kejujuran
Memahami jalan pikiran siswa-siswa sekarang terkadang membuat
bingung. Sangat sulit diprediksi. Jauh dari nalar dan akal sehat. Seperti yang
saya dapatkan pada sebuah rombongan belajar (rombel).
Ketika itu kelas baru saja dimulai. Tatapan mata saya
tiba-tiba tertegun pada lembaran absensi siswa. Lama saya memandangi absensi
itu. Seperti ada yang aneh.
Ternyata benar saja. Sedikitnya ada 8 orang siswa yang belum
pernah masuk di kelas saya. Padahal waktu belajar sudah sampai pada minggu
keempat. Sudah begitu jauh. Akibatnya, mereka-mereka ini rugi waktu. Pelajarannya
tertinggal jauh dari teman-temannya.
Tentu saja hal itu tak boleh dibiarkan. Saya menganggap harus
ada tindakan. Guru-guru lain pun juga akan seperti itu. Apalagi bagi guru yang
bertugas sebagai wali kelas.
Setelah mengabsensi siswa satu persatu, saya datangi mereka
(siswa-siswa yang banyak absen tadi). Saya mengharapkan sebuah pengakuan jujur
dari masing-masing. Tidak lebih. Tidak ada niatan untuk mencederai, menyakiti,
atau bentuk hukuman fisik apapun. Bukan karena khawatir akan berbuntut panjang,
tapi karena zamannya memang bukan lagi seperti itu.
Demi melancarkan misi ini, saya terpaksa menggunakan sebuah
trik. Mereka harus merasa dekat dengan saya. Secara personal. Meskipun ini kali
pertama saya ketemu mereka. Oleh karenanya, saya terpaksa harus menghafal
nama-nama mereka: 8 nama dalam waktu kurang dari 2 menit.
Ternyata, reaksi dari pertanyaan saya tak seperti yang
dibayangkan. Kebanyakan dari mereka terdiam. Sementara yang lain tersenyum
datar, sambil memandangi rekan sebangkunya. Jawaban jujur yang saya harapkan
belum muncul. Masih jauh.
“Trik saya gagal,” gumam saya dalam hati.
Menyerah? Tidak. Saya harus mendapatkan jawaban jujur itu. Saya
juga harus mendapat referensi, mengapa siswa-siswa sekarang begitu gampang
absen ke sekolah.
Beda dengan zaman saya ketika masih aktif sekolah dulu. Sehari
saja absen, kok rasanya begitu rugi. Sepertinya,
akan ada banyak pelajaran yang tertinggal. Bisa-bisa, kalah bersaing dari teman
sebangku atau sekelas. Bisa-bisa, tidak dapat peringkat lagi.
Syukurnya, ide itu tiba-tiba saja muncul. Tepatnya beberapa
langkah menuju bangku dan meja guru. Saya ingin yang delapan itu
mengutarakannya di depan kelas. Saya ingin memanfaatkan jiwa muda mereka, yang
selalu ingin dipandang lebih dari teman-temannya.
Ternyata benar saja. Pengakuan jujur itu akhirnya terungkap.
Saya memberikan kesempatan kepada mereka untuk bercerita di depan kelas. Tentang
peristiwa apa saja yang mereka alami ketika absen, atau ketika tidak masuk sekolah.
Apapun alasannya.
Saya mewajibkan mereka menyampaikan minimal 10 informasi. Secara
bergiliran, sambil bercerita. Jika ada yang kurang (tidak mencapai 10
informasi), silahkan balik ke barisan, menunggu antrian selanjutnya.
Sambil mendengarkan mereka bercerita, saya membuat diagram
sederhana di papan tulis. Saya menuliskan inti dari pengakuan mereka. Lucu-lucu.
Polos. Seolah tanpa beban sama sekali.
Terus terang, saya apresiasi kejujuran ini. Ternyata jika ‘disentil’
hatinya, mereka juga akan terbuka. Saya berharap banyak atas pengakuan mereka di
depan kelas. Saya ingin mereka lebih bertanggung jawab terhadap keberlangsungan
pendidikannya. Saya beserta guru-guru lain, sebagaimana kedua orang tua
siswa-siswa itu, berharap mereka bisa lebih rajin, disiplin, dan mengikuti tata
tertib.
Akhirnya, mereka hebat dengan diagram kejujuran. Sambil berharap,
rekannya yang lain tak meniru perbuatan itu. Semoga saja.
Post a Comment