Seratus Kilometer Demi Sensasi Ber-Durian

Ajakan untuk menikmati durian itu sangat sulit untuk saya tolak. Bukan karena rasa yang ditawarkan, namun sensasi cara menikmatinya. Sehingga saya tak perlu berpanjang-panjang waktu untuk berfikir. Karena bisa jadi, ini kesempatan yang tak akan datang dua kali.


Kawasan Medan, dan kota-kota kecil di sekitarnya memang sedang dibombardir durian. Musimnya baru saja dimulai. Buah dengan aroma menyengat itu datang berbondong-bondong. Sudah seperti pemudik.

Banjirnya durian itu membuat gatal lidah. Sebagai orang yang berdomisili di Medan dan sekitarnya, dianggap tak berperike-Medanan jika tak segera menyantap durian-durian itu.

Sebenarnya durian yang kami santap, pada Sabtu (1/8) yang lalu, merupakan durian yang beredar di pasaran. Biasanya berasal dari kebun-kebun rakyat di daerah-daerah yang selama ini dikenal sebagai pemasok. Seperti Sidikalang, Bahorok, Tiga Lingga, dan lainnya. Namun karena tempat menikmatinya sangat spesial, dan jauh dari daerah saya tinggal, maka sensasinya sangat berbeda. Luar biasa.

Butuh hampir seratus kilometer bagi saya untuk menempuh tempat itu. Jarak pulang pergi. Melintasi empat kabupaten dan kotamadya.

Durian terlebih dahulu dipersiapkan mereka, dibeli dari pemasok. Kemudian dibawa ke daerah yang masuk kategori perkampungan. Sekitar 40 menit dari tempat dibelinya tadi, dengan kendaraan bermotor.

Kami mengeksekusi durian-durian itu di tepi sungai yang dangkal. Daerahnya masih sepi. Pemukiman penduduk masih sangat jarang. Lahannya masih luas-luas. Tanaman apapun tumbuh sumbur. Di sisi kanan dan kiri menuju sungai dipenuhi tanaman yang dikelola penduduk.

Jarak menuju sungai itu, sekitar tiga kilometer dari tempat parkir kendaraan kami. Kondisi tanahnya berbukit. Permukaannya berlubang, sebagian besar masih tanah liat yang licin dan sebagian lagi sudah batu kerikil. Sementara durian, dibawa dengan menggunakan angkong (kereta sorong).

Keringat mengalir deras begitu tiba di tepi sungai. Rasa lelah itu perlahan hilang, begitu menikmati hamparan pemandangan sungai yang ditawarkan. Air sungainya jernih dan tak begitu dalam, hanya setinggi lutut orang dewasa. Di bagian tengahnya terdapat gundukan pasir, yang membentuk pulau. Sementara di seberangnya, merupakan kebun sawit yang tengah produktif.

Lantas, kenapa memilih sungai sebagai tempat eksekusi? Segarnya air sungai di perkampungan itu, merupakan obat penawar atas efek panas yang ditimbulkan setelah mengonsumsi durian.

Dan daging durian yang lembut dengan rasa manis yang sangat itu, langsung lumer begitu masuk ke dalam mulut. Rasa penat, lelah, dan capek langsung berganti dengan nikmat yang luar biasa. Sungguh ini sebuah anugerah Allah. Alhamdulillah.






No comments