Bedanya Malapraktik Guru dengan Dokter
Dari hasil MGMP kemarin, saya membawa pulang sebuah
kesimpulan: “Guru juga bisa melakukan malapraktik. Dan dampaknya ternyata bisa
lebih besar ketimbang yang dilakukan oleh dokter.” Loh, kenapa bisa? Mari sama-sama
kita cermati.
Petikan ini saya dapat dari Drs H Purwanto. Kepala SMK Sinar
Husni 2 TR Labuhan Deli itu mengemukakannya di depan ratusan peserta Musyarawah
Guru Mata Pelajaran (MGMP). Ketika itu beliau berkisah tentang strategisnya
peran guru. Bagi siswa, bagi pendidikan nasional, dan bagi masa depan bangsa.
Strategis karena fungsi dan manfaatnya. Juga karena akibat
dari kesalahan yang mungkin dibuat. Di mana tiap kesalahan itu, bisa berdampak
ringan hingga berat. Bahkan fatal. Kalau dalam dunia kedokteran disebut
malapraktik.
Bedanya, kalau korban malapraktik dokter bersifat individu,
orang per orang. Sedangkan korban malapraktik guru berdampak pada puluhan
orang. Sejumlah siswa dalam satu kelas. Bahkan bisa lebih. Tergantung berapa
kelas tanggung jawab guru itu.
Apa yang dirasakan korban malapraktik guru memang tak
berdampak langsung. Melainkan jangka panjang. Tidak seperti dokter yang
berhubungan dengan keselamatan pasien.
Ketidaktepatan menerapkan ilmu praktis oleh siswa, salah
satunya timbul akibat kurang berhasilnya tujuan pembelajaran. Pembelajaran yang
kurang berhasil terjadi akibat kurang kompeten mendidik. Sedangkan mendidik dan
mengajar itu merupakan tugas dan wewenang guru.
Oleh karenanya, untuk mempersempit peluang terjadinya
malapraktik, kemampuan guru itu harus terus diperbarui. Di refresh. Diberikan kembali pelatihan-pelatihan. Bentuknya bisa
berupa diskusi, ceramah, atau pun Musyawarah Guru Mata Pelajaran.
Menyimak kemungkinan terjadinya malapraktik ini, saya jadi
teringat pada sebuah pelatihan yang diadakan untuk guru. Namanya pelatihan
Hypno Teaching. Pesertanya kebanyakan guru-guru senior. Saya sendiri termasuk
yang tergolong muda.
Pelatihan ini menawarkan guru untuk menggunakan metode
sugesti ketika mengajar. Seperti akan menghipnotis. Namun cara menghipnotisnya tidak
seperti yang sering ditampilkan pada acara TV. Sederhana saja. Mudah. Yaitu dengan
memberikan bahasa-bahasa penguatan, dengan kalimat yang positif, dan ketika
suasana kelas kondusif.
Misalnya seperti ini. “Mulai sekarang kamu harus lebih rajin
ya.” Kalimat singkat itu merupakan sugesti. Diucapkan kepada siswa yang
menunjukkan gejala malas, sering terlambat, jarang mengerjakan tugas, dan
sebagainya.
Sebaliknya, sugesti yang diberikan dengan kalimat negatif,
justru akan langsung tertancap di alam bawah sadarnya, dan membuat siswa yang
malas tadi akan semakin menjadi-jadi. Sehingga tujuan awal untuk membuat siswa itu
bangkit dari kemalasannya, malah tidak berhasil.
Misalnya begini : “Kamu
kok makin malas sekarang?” Kalimat itu terlihat sederhana. Namun sebenarnya
bisa menimbulkan efek merusak pada jangka panjang. Dengan kalimat itu, anak
akan merasa dirinya dianggap semakin malas. Dan upaya mengusir kemalasannya
makin ditambah dengan sugesti itu.
Itu baru satu point saja: malas. Bagaimana jika guru secara
langsung atau tidak langsung, sengaja atau tidak disengaja, mengucapkan kalimat
negatif lain, yang bisa menjadi sugesti negatif juga. Misalnya, maaf: bodoh,
goblok, nakal, dan sebagainya.
Bersama kemampuan penguasaan materi, manajemen kelas,
penerapan kurikulum, perangkat pembelajaran, penilaian, dan banyak lagi yang
lainnya, beban guru memang tampak lebih berat. Tugas dan ‘resiko’ yang
dihadapi, berbanding terbalik dari apa yang didapat. Terutama bagi guru yang
masih berstatus sebagai honorer.
Maka ketika pemerintah mulai memperhatikan kesejahteraan
guru, dengan memberikan tunjangan sertifikasi bagi sebagian yang memenuhi
syarat, itu sepertinya wajar. Meskipun secara head to head, gaji guru di Indonesia, masih kalah jauh di banding
yang diterima guru-guru di luar negeri. Di Malaysia misalnya.
Di negeri jiran itu, guru lulusan D-III menerima gaji setara
dengan Rp. 12 juta. Sedangkan yang lulusan S-1, bisa menerima setara dengan Rp.
39 juta.
Dengan vitalnya fungsi dan tugas guru itu, tak berlebihan
jika pemerintah memberi perhatian lebih. Memberikan kepastian kesejahteraan dan
membekali dengan ilmu dan pelatihan-pelatihan. Karena jika itu saja terpenuhi,
saya yakin, malapraktik yang bisa merugikan jutaan generasi bangsa, bisa
dicegah. Sesuai dengan pernyataan yang saya kutip pada spanduk setelah MGMP
itu: Pintar Karena Ilmu, Cerdas Karena Guru.
Post a Comment