Gelar-gelar Bergengsi dari ‘Ganda Campuran’ Dadakan
Saya suka sekali dengan aksi dua orang guru ini. Tak banyak
bicara. Doyan kerja. Mengabdinya tulus. Tanpa basa-basi. Serta yang terpenting
ini: Bergelimang prestasi.
Naluri memang membuat mereka tak sengaja berduet. Membentuk
‘ganda campuran’ baru. Layaknya Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir.
Secara tandem, mereka mendidik, melatih, dan mengajari siswa
yang punya kemauan keras untuk berkompetisi. Dalam ajang apapun. Terutama seni.
Sehingga berhasil menyumbang gelar-gelar prestisius.
Guru yang lelaki memang berjiwa seni tulen. Padahal ia orang
eksakta. Bukan hanya satu bidang. Tapi dua.
Pertama, si Pak Guru ini meraih gelar sarjana di bidang
pendidikan Teknik Bangunan. Namun karena bakatnya di bidang Matematika sulit
dibendung, membuatnya kembali berguru. Menuntut ilmu, pada salah satu kampus
swasta di kota Binjai.
Meskipun pondasi dasar eksaktanya begitu kuat, namun
perangai seninya tak bisa ditutup-tutupi. Pak Guru ini sering terlibat aktif dalam
kegiatan seni di sekolah. Terlebih, si bapak dipercaya sebagai Pembina Osis.
Karena keaktifannya itulah pak Guru ini sering beraksi. Menunjukkan
bakat ‘X’ nya. Tampil sebagai presenter. Membawakan lagu-lagu nostalgia ketika
sedang di atas panggung. Hingga kebanjiran order untuk nge-MC.
Selain aktif di kegiatan intra, Pak Guru yang serba bisa ini
juga begitu aktif pada kegiatan ekstrakurikuler: Pramuka. Beliau hampir
mencapai level sesepuh. Hanya kalah masa mengabdi dibanding seniornya. Melalui kegiatan
kepramukaan ini pula beliau makin dikenal luas. Mengikuti banyak pelatihan,
yang ilmunya ditularkan ke sekolah.
Kalau Pak Gurunya beken, si Ibu Guru juga jauh lebih
mentereng. Beliau lulusan Fakultas Bahasa dan Seni pada salah satu universitas
negeri. Jenis pelajarannya tidak biasa. Bahasa Perancis.
Sejak pindah tugas dari salah satu sekolah di propinsi NAD,
Ibu Guru ini langsung berkiprah. Tancap gas.
Lucunya, belum sempat puas bertugas, ia mendapat tugas
belajar dari pemerintah. Melanjutkan studinya ke jenjang S-2.
Namanya emas, ditempatkan di manapun juga emas. Begitulah gambaran
betapa mengkilaunya karir dan nasib si ibu.
Ketika dalam tugas belajar, beliau terpilih menjadi salah
satu dari sangat sedikit warga negara Indonesia, yang diundang oleh Kedutaan Besar
Perancis, untuk studi banding. Betapa beruntungnya.
Sebulan lebih beliau di sana. Mengenal budaya, karakter,
wilayah, serta atmosfir negeri Zinedine Zidane tersebut.
Yang lebih istimewa, ketika itu tepat bulan puasa. Sehingga ini
menjadi pengalaman pertama: berpuasa di Eropa. Yang durasi siang harinya, lebih
panjang dibanding malam harinya. Jika dibandingkan, kalau di Indonesia berpuasa
kira-kira selama 13 jam, di sana lebih
panjang. Bisa mencapai 20 jam.
Sejak kedatangannya, kehidupan seni di sekolah terang
benderang. Sebuah wadah seni bertajuk ‘Bengkel Snada’ dibentuk. Lagu Mars, yang
hampir selama 7 tahun tidak ada, beliau ciptakan. Luar biasa.
Ibu guru ini pula yang membuat saya terinspirasi. Cara mengajarnya
bagus. Variatif, dan penuh improvisasi. Hingga membuat saya berulang kali ingin
menulisnya dalam sebuah edisi khusus Raise Up Indonesia.
Bayangkan, betapa membosankannya belajar bahasa asing yang
begitu ‘asing.’ Apalagi dengan cuaca panas, dan kondisi kelas yang tidak
kondusif.
Namun di tangan beliau. Kelas yang bikin bosan itu menjadi begitu
hidup. Alat peraga dimanfaatkan. Belajarnya juga mengasyikkan. Sehingga siswa-siswa
terlibat aktif. Mereka bisa melafazkan kosa kata Perancis yang sepertinya rumit
itu, dengan mudah.
Dengan kapasitasnya masing-masing, ‘ganda campuran’ ini
sudah seperti Midas. Tokoh di cerita Yunani kuno, yang mampu mengubah semua
benda yang disentuhnya menjadi emas.
Dalam catatan saya, setiap siswa yang dilatih dalam
menghadapi sebuah kompetisi, pasti juara. Mendapat tempat, dan pulang dengan
membawa piala. Membanggakan.
Berteman dengan Pak Muslim dan Ibu Fauziah M Nur memang
membuat saya juga ingin bisa lebih berprestasi. Semoga saja.
Post a Comment