Petaka Guru di Tengah Logika Parlas

Seram juga ya judulnya. Padahal saya ingin mengajak anda berpikir yang ringan-ringan. Sambil memainkan logika tentang peristiwa yang menimpa seorang rekan guru, di Jawa Barat sana.

Sebelum itu, pertama, saya berusaha untuk tidak mempersepsikan artikel ini. Juga tidak untuk menggiring opini. Takut dianggap tidak objektif. Karena tulisan ini dibuat untuk memancing logika jernih, tentang petaka yang dialami seorang guru, dan hubungannya dengan dunia pendidikan secara umum.

Begini ceritanya.

Tugas guru itu mendidik. Termasuk juga mendisiplinkan anak didiknya. Atas niatan itu, tergeraklah hati seorang guru honorer, Aop Saopudin, pada salah satu SD Negeri Penjalin Kidul V, di daerah Majalengka. Beliau melakukan penertiban terhadap rambut siswa, yang sudah menyalahi prosedur, dengan melakukan razia rambut gondrong di kelas III pada 19 Maret 2012 silam.

Dalam razia itu, didapati 4 orang  siswa yang berambut gondrong. Seperti dilansir detikcom, disebutkan inisial mereka, yaitu AN, M, MR dan THS. Mendapati rambut gondrong ini, Aop lalu melakukan tindakan disiplin, dengan memotong rambut THS ala kadarnya.

Sepulang sekolah, orang tua THS, Iwan Himawan tidak terima dengan perlakuan guru Aop terhadap anaknya itu, dengan mendatangi sekolah. Disebutkan, Iwan marah-marah. Lantas mengancam balik Aop. Tak hanya itu, sang guru lalu dicukur balik rambutnya oleh Iwan sebagai balasan. 

Tak puas sampai di situ, Iwan juga mempolisikan Aop. Sehingga, mau tidak mau, Aop yang tulus bekerja untuk mencerdaskan anak bangsa itu pun harus berurusan dengan kepolisian dan jaksa.
Mendapati rekan kerjanya diperlakukan demikian, teman-teman Aop tidak terima. Lantas mempolisikan balik Iwan.

Kewenangan Aop untuk mengajar, mendidik, dan mencerdaskan tunas-tunas penerus bangsa, terganggu proses hukum. Karena harus bolak-balik ke kantor polisi, dan kejaksaan.

Hingga akhirnya, ia harus menerima kenyataan: duduk di kursi pesakitan, menghadapi meja majelis hakim, dan dituntut dengan pasal berlapis: diskriminasi terhadap anak, penganiayaan terhadap anak, dan perbuatan tidak menyenangkan.

Aop dijerat Pasal 77 huruf a UU Perlindungan Anak, yang berbunyi:

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100 juta.

Untuk membuat kasus ini terang benderang, mari kita cermati makna diskriminasi berdasarkan UU No 39/1999 tentang HAM.

Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.

Benarkah Aop melakukan tindakan yang diskriminatif terhadap anak didiknya itu?

Gambarannya kira-kira begini.

Dalam kasus Aop, ia merazia empat orang siswa. Yaitu AN, M, MR dan THS. Dari keempatnya, potongan rambut yang dilakukan Aop bisa saja berbeda-beda bagi tiap siswanya.

Kemudian, apakah benar, Aop telah melakukan pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik terhadap anak didiknya?

Karenanya, apakah benar akibat perbuatan Guru Aop, membuat peserta didiknya itu mengalami pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya?

Bahkan kalau ditarik analogi yang lebih ekstrem lagi: Apakah anak Iwan telah terlanggar kebebasan dasarnya untuk berambut gondrong? Apakah aturan larangan berambut gondrong di sekolah melanggar HAM? 

Saya awam hukum. Dan tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Untuk itulah saya mengajak pembaca berlogika secara jernih.

Di sini saya akhirnya berpersepsi. Menurut saya, bagi polisi dan jaksa, anak Iwan telah mengalami diskriminasi sebagaimana diartikan oleh UU HAM di atas.

Syukurnya, berdasarkan rilis yang saya dapat, dakwaan jaksa yang mengenakan UU Perlindungan Anak tersebut ditolak mentah-mentah oleh pengadilan negeri, banding dan kasasi.

Guru Aop hanya dikenakan pasal sapu jagat KUHP: perbuatan tidak menyenangkan. Itu pun ditolak Mahkamah Agung (MA). Sehingga Guru Aop pun bebas murni. MA menganggap, Aop sebagai guru memiliki fungsi pendidikan dan edukasi, salah satunya memberikan sanksi kepada siswanya.

Apa yang menimpa Guru Aop membuat saya merenung: Apa jadinya jika sangkaan polisi dan dakwaan jaksa itu dikabulkan? Bisa saja, seluruh guru di Indonesia akan masuk penjara karena melakukan perbuatan tidak menyenangkan terhadap siswanya.

Pendidikan dan hukum memang harus disekat dengan saringan yang bagus. Sehingga batasnya jelas. Jernih.

Karenanya, marilah berlogika secara sehat. Bukan seperti logika pak hakim Parlas yang memang sedang terkenal itu.


Diedit dari detik.com.

No comments