Uji Kompetensi SMK: ‘Perang’ Kecil dengan ‘Resiko’ Besar

Inilah medan ‘perang’ bagi siswa SMK: Ujian Kompetensi  Kejuruan.

Ujian ini juga bagaikan ‘cat walk’. Mereka diminta untuk menunjukkan aksi-aksinya. Bakat-bakatnya. Dan keterampilan yang telah didapat, dibentuk, dan dimiliki selama 6 semester bersekolah.


Suasana ketika melaksanakan ujian ini, dibuat persis seperti dunia kerja di luar sana. Sangat persis. Ini sebagai bekal mereka menghadapi medan perang yang sebenarnya di dunia kerja kelak.

Untuk dapat menyelenggarakan ujian ini saja, sekolah setempat harus diverifikasi terlebih dahulu. Mulai dari sarana dan prasarananya, peralatannya, dan kualifikasi guru-guru yang akan menjadi pengujinya.

Item-item yang diverifikasi itu, harus memenuhi standar. Seperti yang ditetapkan Direktorat Pembinaan SMK. Baik dari sisi jumlah, atau kualitasnya. Harus benar-benar layak. Tidak boleh dilayak-layakkan.

Orang-orang yang dipercaya untuk menguji kemampuan siswa juga harus yang berkualifikasi. Penguji ini bisa berasal dari lingkungan internal sekolah sendiri, atau dari luar sekolah.

Yang berasal dari internal sekolah, biasanya guru-guru bidang kejuruan, yang memiliki kualifikasi tertentu. Misalnya, telah mengajar sekurang-kurangnya 5 tahun, pernah mengikuti diklat sesuai dengan bidang keahliannya, dengan akumulasi minimal selama 6 bulan.

Sedangkan penguji dari luar biasanya berasal dari perusahaan-perusahaan yang relevan. Semisal untuk Jurusan Teknik Sepeda Motor, pengujinya berasal dari Astra Honda Motor. Atau dealer-dealernya. Mereka-mereka ini, harus berpendidikan minimal Diploma 3, atau telah bekerja dengan masa sekurang-kurangnya 3 tahun.

Karena menjadi ‘panggung pertunjukan,’ Ujian Kompetensi Kejuruan itu dianggap menakutkan bagi siswa. Mereka sangat bisa terpeleset. Seperti model yang berjalan di ‘Cat Walk’. Yang bisa saja terpeleset, tersungkur, lantas terjatuh, mesti sudah puluhan kali melewatinya.

Siswa yang sudah benar-benar berlatih saja masih mungkin gugup. Lantas berbuat kesalahan. Yang kemudian bisa berakibat merugikan bagi mereka. Apalagi bagi siswa yang selama ini dikenal ‘santai.’
Seperti yang saya dapati pada pelaksanaan Ujian Kompetensi beberapa waktu lalu.

Ketika itu ada seorang siswa, yang saya yakin betul dengan kemampuannya. Dia seorang yang cerdas. Berkemampuan teknik lumayan. Jam terbang tinggi, karena bekerja paruh waktu pada sebuah bengkel sepeda motor.

Tapi nasib berkata lain. Di depan alat peraga dan dewan penguji, kemampuan yang melekat pada dirinya itu lenyap. Hilang entah kemana. Hanya rasa gugup yang mendominasi penampilan siswa itu. Sehingga nilai yang didapat, jauh dari harapan siswa itu, dan juga saya.

Ujian Kompetensi Kejuruan di SMK memang begitu vitalnya. Inilah yang membedakan (jenjang SMK) dengan SMA. Karena, lulus SMK sama dengan, lulus Ujian Kompetensi, plus Ujian Akhir Sekolah, plus Ujian Nasional. Termasuk Ujian Nasional Teori Kejuruan.

Bobot penilaian pada Ujian Kompetensi Kejuruan juga begitu tinggi: 70% berbanding Ujian Teori yang hanya 30%. Artinya, skill dan kemampuan masing-masing siswa lah yang bisa membawa mereka lulus.

Sehingga tak heran, bagi siswa, Ujian Kompetensi Kejuruan memang seperti perang kecil, namun dengan resiko yang lumayan besar.







No comments