Menampung Ide ‘Android’ dari Siswa Zaman Sinetron
Satu tatap muka terakhir di kelas untuk Tahun Ajaran
2015/2016 ini, benar-benar saya manfaatkan. Pada awalnya, ingin sekali menguji
mereka (kembali). Memberi soal-soal
teori. Sambil mematangkan persiapan jelang Ujian Akhir Sekolah (UAS). Namun
pada injury time, keputusan itu
berubah.
“Saya ingin (sekali) menggali informasi. Dari siswa.
Sebanyak-banyaknya.”
Maka ketika kelas sudah dimulai, seluruh siswa masih
menyangka bahwa Sabtu (5/3) itu, memang akan ada ujian teori. Mereka mempersiapkan
kertas folio. Lengkap dengan ‘saudara-saudaranya.’
Sementara sebagian yang lain, malah menyempatkan diri
membaca-baca. Mulutnya berkomat-kamit. Menghafal. Begitu seriusnya.
Hingga suatu waktu, wajah-wajah serius itu langsung mencair.
Begitu dibacakan soal pertama.
“Loh, memang ini soalnya pak,” tanya salah satu di antaranya.
Yang suaranya paling keras.
Soal yang saya berikan memang tidak ada hubungannya dengan
pelajaran. Sama sekali. Sengaja begitu. Karena saya memang ingin menggali pola
pemikiran mereka.
Ujian selesai setelah 3 jam pelajaran. Sebagian besar kertas
folio yang menjadi media jawab, penuh. Tulisannya pun padat. Rapat. Dengan
jarak spasi tunggal.
Kebetulan setelahnya, waktu istirahat tiba. Sehingga saya bisa
langsung memeriksa lembar jawaban itu. Satu demi satu, tanpa harus menunggu.
Jawaban dari pertanyaan ini yang paling saya cermati: “Apa
rencana dan tindakan yang akan kamu lakukan, untuk mewujudkan cita-citamu,
setelah dinyatakan lulus nanti?”
Kenapa harus bertanya seperti itu?
Harus. Karena alumnus Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), masih
mempunyai kewajiban lain setelah dinyatakan lulus: Bekerja. Apakah itu bekerja
untuk orang (perusahaan) lain, atau untuk dirinya sendiri. Ini yang membuat beban
moral guru yang mengajar di SMK, jauh lebih berat dibanding dengan yang di
Sekolah Menengah Atas (SMA).
Dan ternyata, sebagian besar jawaban yang saya dapat,
melenceng jauh dari perkiraan. Lebih canggih. Kalau dalam dunia komunikasi
seluler, sudah android. Tidak lagi melulu semodel nokia yang dulu-dulu.
“Saya ingin beternak kelinci,” demikian ditulis pada lembar
jawaban itu. Sementara pada beberapa lembar jawaban yang lain, ada yang ditulis
seperti ini: “Mengembangkan bisnis ternak lembu, membuka bengkel sepeda motor,
dan mengembangkan bisnis orang tua.”
Setelah saya rekap, lebih dari 80% siswa, menyatakan ingin
menjadi pengusaha, berwirausaha, dan mengembangkan bisnis sendiri. Sementara
20% lainnya ada yang ingin menjadi anggota TNI/Polri, menjadi pegawai perusahaan
BUMN, atau melanjutkan kuliah.
Dua tahun lalu, ketika mengajukan pertanyaan yang sama,
namun dengan metode yang berbeda, jawaban yang saya dapat tidak begitu.
Pemikiran siswa masih konvensional. Jadul banget. Seperti HP nokia lama tadi.
Rerata mereka ingin menjadi anggota TNI/Polri, PNS, bekerja
di pabrik-pabrik, atau bekerja di pabrik, tapi di luar kota. Sedikit sekali
yang berniat menjadi pengusaha.
Jawaban itu tentu saja menjungkirbalikkan prediksi saya.
Ternyata, siswa-siswa itu, sudah lebih realistis cara berpikirnya. Tidak lagi
seperti sinetron yang berskenario. Yang hari ini berperan menjadi orang yang
miskin banget, besoknya bisa menjadi kaya banget. Atau hari ini nasibnya begitu
sial, besoknya bisa jadi untung sedunia.
Jawaban yang disertai dengan ‘ide android’ itu memang di
luar prediksi saya. Apakah ini keberhasilan guru pelajaran Kewirausahaan dalam
merubah pola pikir siswa-siswanya? Bisa jadi begitu.
Masih
dari lembar jawaban siswa itu tadi, ternyata ada
hal lain yang juga menjungkirbalikkan anggapan saya: “Runtuhnya kesan angker
siswa, dalam menghadapi pelajaran Matematika.”
Karena 80% lebih siswa di kelas itu, sangat suka dengan pelajaran yang membuat wajah susah untuk senyum ini.
Mungkin, saya harus menulis tentang profil gurunya. Suatu
saat nanti. Entah kapan.
Post a Comment