Lima Tahun yang Luar Biasa dengan Astra
Persis 11 tahun yang lalu. Tepatnya 13 Juni 2005. Senin
bersejarah itu, merupakan hari pertama saya bekerja. Sebagai seorang karyawan
baru, di PT Astra International Tbk-Isuzu Sales Operation, Cabang Medan.
Semua mengalir apa adanya. Tidak ada niat. Rencana. Ataupun
cita-cita untuk bisa bekerja di perusahaan itu. Kecuali, garis tangan dan
skenario Allah Ta’ala.
Beberapa bulan sebelumnya.
Halaman lowongan kerja (loker) di koran berkali-kali saya
buka. Mencari yang cocok. Atau yang sesuai dengan kondisi saya: Seorang
mahasiswa semester 10, yang sejak semester 8 sudah bebas dari mata kuliah
reguler. Namun tinggal menyisakan 2 mata kuliah tugas akhir: Teknik Merancang,
dan Skripsi.
Lowongan kerja memang begitu rutin saya pantau. Setiap
harinya. Misinya ini: Mencari kerja.
Dengan bekerja, saya berharap bisa berpenghasilan. Sebagai
tambahan biaya untuk menyelesaikan kuliah. Seperti yang selalu diingatkan mamak.
Karenanya, koran yang menampilkan segepok iklan loker selalu
saya beli. Setiap hari. Pilihan jatuh pada harian Analisa. Di koran itu,
setidaknya ada dua halaman penuh berisi loker. Yang biasanya diletakkan pada
halaman tengah.
Namun ada juga yang dipajang di halaman paling depan. Atau
paling belakang. Di halaman-halaman itu, iklan loker yang nampil biasanya dipasang
oleh perusahaan-perusahaan besar. Seperti yang saya dapati hari itu.
Yang dibutuhkan marketing. Tapi saya nekat saja membuat
lamarannya.
“Walk In Interview untuk posisi Marketing.” Demikian ditulis
si pemasang iklan. Besar-besar.
Nama perusahaannya sudah sering saya dengar. Alamatnya sudah
tahu. Begitu lihat persyaratan: sesuai kriteria. Tanpa ba-bi-bu, lamaran saya
buat, dan meluncur ke lokasi, keesokan harinya.
Saya berada pada urutan ke dua ratusan. Padahal itu hari
pertama dari 3 hari jadwal Walk In Interview untuk posisi marketing. Terbersit
gambaran peluang untuk bisa bergabung. Sambil mengantri. Sambil berhitung. Tapi
tidak dibawa pusing. “Hitung-hitung cari pengalaman,” pikir saya.
Di ruang tunggu, kami menanti dipanggil oleh petugas yang
sudah ditunjuk. Ada sedikitnya 4 orang pewawancara.
Sementara itu, rata-rata peserta berpenampilan necis.
Parlente. Rapi. Dan juga wangi. Maklum. Ini posisi marketing. Sedangkan saya: apa
adanya.
Lewat tengah hari giliran saya. Di ruang kantor yang
disekat-sekat, saya duduk berhadapan dengan seorang pewawancara. Namanya
Gusyandri. Supervisor di PT Astra International Tbk – Isuzu.
Beliau kini sudah menjadi Manajer Cabang di PT Astra
International – Daihatsu Cabang Krakatau.
Sesi wawancara mengalir apa adanya. CV yang saya bawa, dibuka.
Dilihat-lihat. Dibolak-balikkan. Halaman demi halaman. Sambil sesekali
mempersilahkan saya memperkenalkan diri.
Mungkin oleh pak Gus (panggilan saya kepada beliau setelah
bergabung), basic marketing saya tidak ada. Riwayat penjualan juga tidak. Konon
lagi prestasi penjualan: Nihil.
Meskipun begitu, sebelum sesi wawancara selesai, ada satu
kalimat sakti yang saya ingat betul, saya ucapkan kepada beliau: “Saya siap
bekerja apa saja agar bisa bergabung dengan perusahaan ini.”
Entah karena kalimat itu. Atau CV dan syarat lain yang
memenuhi. Atau juga memang karena ada berkas-berkas lain yang dilampirkan, saya
dihubungi oleh perusahaan. Semingu setelahnya. Bersama 7 pelamar lain, kami
mengikuti tahapan rekruitmen. Yang panjang. Berliku. Dan sangat selektif.
Jumlah pelamar pun mengerucut. Setidaknya sebulan kemudian,
hanya tinggal saya sendiri. Setelah mengikuti tes kesehatan di Laboratorium
Prodia, saya diwawancarai oleh Manajer Cabang; Pak Suwito. Dari sesi wawancara
itu pula saya baru tahu, jika posisi yang ditawarkan bukan lagi marketing,
melainkan messenger.
“Point sellingnya adalah, kamu itu akan menjadi karyawan
Astra,” kata Pak Wito, yang ketika itu didampingi Pak Fauzy Bastian sebagai
Kepala Administrasi.
Messenger merupakan posisi turunan di bidang administrasi.
Kerjanya kebanyakan di luar kantor, dibanding di dalam. Kira-kira mirip seperti
kolektor. Posisi apapun itu, tidak masalah. Karena yang penting: Saya Kerja.
Selama 5 tahun berkarir, setidaknya saya sudah beberapa kali
dirotasi. Meskipun di antaranya hanya bersifat buffer.
Mulai dari kasir, administrasi bengkel, administrasi
penjualan unit, serta yang terakhir, dan
menjadi posisi permanen hingga saya pensiun: spare part.
Value yang saya rasakan, justru ketika sudah menjadi alumnus
Astra. Tinggi. Termasuk ketika harus ‘nyebur’ menjadi pendidik. Profesi yang
sesungguhnya sesuai dengan disiplin ilmu ketika kuliah dulu.
Periode lima tahun di Astra merupakan hal luar biasa bagi saya.
Sangat luar biasa. Karena tidak semua orang bisa mendapatkan kesempatan itu.
Post a Comment