Tujuh Belasan Enam Zaman

Perayaan HUT Proklamasi sudah saya jalani dalam beberapa lakon. Ketika masih menjadi siswa SD, kemudian beranjak remaja dan duduk di bangku sekolah kelas menengah (SMP dan SMA). Juga ketika mahasiswa, hingga menjadi profesional seperti saat sekarang ini.


Seremoni tujuh belasan itu sendiri, sudah saya rasakan hingga negara berganti 6 kali pimpinan. Eranya Presiden Soeharto yang paling saya kenang.

Perayaannya begitu meriah. Suasananya benar-benar ‘merdeka’. Benar-benar menjadi pesta rakyat. Dan benar-benar menjadi ajang mengisi kemerdekaan.

Persiapan menyambut tujuh belasan dilakukan secara matang kala itu. Mulai dari kantor-kantor pemerintah, sekolah-sekolah, bahkan jalan masuk menuju rumah penduduk pun ikut didekorasi.

Tampilannya pun bermacam-macam. Gang tempat jalan masuk itu dihias dan disetting dengan dekorasi yang beraroma perjuangan. Antara gang yang satu dengan yang lain dalam kelurahan yang sama, berbeda dekorasinya. Ada yang mewah, ada yang biasa, ada pula yang sederhana.

Ketika hari ‘H,’ setiap lingkungan selalu ramai. Seluruh warga tumpah. Mereka berkumpul pada satu titik, untuk ikut ambil bagian dalam kegiatan perlombaan, dengan semangatnya.

Yang masih kecil, seusia SD, biasanya ikut pada mata lomba yang kecil-kecil juga. Seperti lomba pukul kaleng. Lomba itu yang sering saya ikuti. Meskipun baru sekali menang dari beberapa kali penyelenggaraan, tapi asyiknya luar biasa. Karena muncul perasaan ngeri-ngeri sedap untuk ikut lomba ini.

Mata kita ditutup dengan kain sebelum lomba. Sedangkan tangan kanan dibekali dengan satu tongkat berdiameter 5-10 cm, dengan panjang 30-40 cm.

Kaleng yang akan dipukul, berada pada jarak sekira 15 meter dari tempat kita berdiri. Untuk menuju kaleng itu, kita harus melewati rintangan yang telah dipasang. Biasanya berupa bangku-bangku panjang. Yang disusun secara acak.

Bagi yang instingnya tinggi, kaleng akan didapat dengan mudah. Cukup berjalan melewati rintangan, dan dengan beberapa kali pukulan. Sementara bagi yang nalurinya pas-pasan, kepala lawan main bisa-bisa menjadi ‘kaleng’ dadakan.

Hebohnya perayaann tujuh belasan pada era pak Harto, saya rasakan pada tahun 1995. Kala itu menjadi ulang tahun emas HUT Proklamasi RI. Ada banyak kegiatan yang dilaksanakan. Salah satunya Kirab Remaja. Saya duduk di kelas 1 SMP ketika itu.

Pamor perayaan tujuh belasan, saya rasakan semakin berkurang beberapa tahun kemudian. Antusiasme masyarakat menurun.

Jangankan ikut terlibat pada kegiatan perlombaan, untuk datang dan menonton serunya lomba tujuh belasan saja berkurang. Atau bahkan, kegiatan tujuh belasan itu sendiri tidak dilaksanakan. Panitia tidak terbentuk. Tidak ada ‘motor’nya.

Itu terjadi selama beberapa tahun. Iseng-iseng saya tanyakan hal itu kepada beberapa rekan. Apakah mereka, di daerah tempat tinggalnya, juga merasakan hal yang sama.

Dan jawabannya: Ya.

“Orang udah pada males,” kata teman saya itu.

“Mungkin karena faktor ekonomi. Kalau dulu, ekonomi relatif stabil. Beda dengan sekarang, orang lebih condong mencari makan, ketimbang memikirkan tujuh belasan,” demikian kata teman saya tadi.

Sementara yang lain, mengutarakan pendapatnya.

“Sekarang ini udah banyak hiburan. Dari mana-mana. Bisa dari HP, medsos, atau nonton sinetron kayak Uttaran,” katanya.

Hiburan tadi, menurut teman saya itu, yang makin membuat orang malas untuk tujuh belasan. Beda dengan dahulu. Di saat teknologi belum secanggih sekarang, orang berduyun-duyun ke lapangan. Melihat serunya lomba.

Dengan alasan apapun, tujuh belasan itu adalah tradisi. Harus terus dipertahankan. Karenanya, HUT Proklamasi membuat saya tak henti-hentinya bersyukur kepada Allah. Yang telah memberikan kekuatan kepada pejuang pada zaman kemerdekaan dulu.

Karena atas perjuangan itu, bangsa ini bisa lepas dari penjajahan. Dan menjadi bangsa yang merdeka hingga saat ini. Saya membayangkan, seandainya saat ini Indonesia masih dijajah dan diinvasi negara asing, betapa pilunya.

Mungkin saya akan mendidik di antara desingan peluru. Atau mengajar di bawah ‘hujan’ tembakan bom-bom pintar. Atau bahkan tidak bisa mengajar sama sekali, karena perang.

Bayangan itu yang secara tidak sadar, membuat mata ini berkaca-kaca ketika upacara tujuh belasan tadi pagi. Saat satu tim pasukan pengibar, mulai membentangkan dan mengerek sang Saka Merah Putih. Yang berkibar, diiringi lagu Indonesia Raya, ke langit nusantara.

Malam tadi, mata saya sama berkaca-kacanya. Ketika sang Merah Putih berkibar, dan Indonesia Raya berkumandang, pada jarak 12 ribu kilometer lebih dari Indonesia. Di sana, di Rio de Jeneiro, oleh Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir. MERDEKA!


No comments