Dodi, dan Rencana Illahi
“Ketika mulai banyak orang” yang menunggu pagi…”
Status itu yang dibuat Dodi, beberapa jam sebelum ia wafat. Ketika
mentari baru saja menyapa, adik saya itu dipanggil sang Khalik. Innalillahi Wa
Inna Ilaihi Roji’un.
Baru pukul 3.00 pagi. Tapi hp saya terus berdering. Berkali-kali.
Karena mengira itu peringatan alarm, saya acuhkan. Tak diangkat. Apalagi posisinya
yang relatif jauh, ada di kamar Dini, putri saya.
Meskipun begitu hati kecil berbisik: “Kenapa deringnya dua
jam lebih cepat ya?”
Pukul 05.00. Hp itu kembali berdering. Kali ini saya
bergegas, menuju kamar Dini. Di layar android Tiongkok produksi tahun 2010-an
itu, tertera nama si pemanggil: “Mother.”
“Ya Allah, itu mamak saya. Pasti ada yang penting,” gumam saya.
Pikiran saya langsung menuju ke Muhammad Dodi Irwansyah, adik saya yang sudah 3
tahun ini menderita penyakit gagal ginjal.
Dan benar saja, suara khawatir langsung menggema di telinga
saya, beberapa detik setelah panggilan diterima.
“Man, adik masuk rumah sakit. Sesak lagi nafasnya. Entah
ketolong (tertolong) apa enggak itu. Ruang HD masih tutup. Dari jam 3 tadi
belum ada diapa-apain,” itu kata mamak. Sangat khawatir dia. Tergambar jelas
dari suaranya.
Mendengar itu, saya pun down. Khawatir. Juga cemas. Semuanya
bercampur menjadi satu. Namun tetap
mencoba menenangkan diri, sambil beberapa kali mengusap-usap rambut.
Sedetik kemudian, mamak melanjutkan percakapannya.
“Kemari cepat, bawa surat keterangan dari Polisi. Karena KTP
adik hilang kemarin. Kalau itu nggak ada, kita dianggap pasien umum. Suratnya
ada sama Fika (adik perempuan saya).”
“Iya mak. Awak langsung ke sana,” jawab saya cepat. Agar mamak
juga merasa tenang.
Saya pun bergegas.
Sekira pukul 06.00, saya berangkat ke RS H Adam Malik Medan.
Itu rumah sakit milik Kementerian Kesehatan.
Sebelum berangkat, istri saya mengingatkan, bahwa Fika sudah
mengantar surat itu ke rumah sakit.
Saya tahu, itu kode agar saya tak
terburu-buru. Agar bisa berkendara dengan selamat di jalan.
Karena biasa menghadapi Dodi dalam kondisi kritis, pagi itu
saya berencana melanjutkan kegiatan di sekolah. Nanti, sepulang dari melihat
Dodi. Karena akan ada pemotongan hewan kurban di sana.
Kurang pukul 07.00, saya tiba di parkiran RS H Adam Malik
Medan. Kaki saya melangkah ke ruang Hemodialisa (HD). Itu ruang khusus untuk
pasien gagal ginjal yang akan menjalani terapi cuci darah.
Untuk memastikan, saya telpon mamak. Dan, langsung
diangkatnya.
“Mamak di mana?” tanya saya.
“Di ruang HD. Tengoklah adikmu itu, udah di pompa-pompa. Apa
nggak kesakitan dia. Kasihan kali mamak nengoknya,” kata mamak.
Dia terisak. Suaranya sesunggukan. Seperti tangisnya anak
kecil. Percakapan langsung saya putus begitu melihat mamak, berdiri lemah di
depan pintu ruang HD. Air matanya mengalir.
Sambil menghampiri, saya meminta mamak untuk duduk di kursi
tunggu yang ada di luar ruangan. Biar dia tenang. Karena tiga bulan terakhir,
sudah dua kali mamak dirawat inap karena tensinya yang naik turun.
Ada beberapa orang keluarga pasien lain di situ. Mereka juga
menguatkan mamak.
Saya masuk ruang HD. Dodi ada di bed nomor 2. Selang darah
ke mesin yang selama ini dilakukan ketika proses HD, belum terpasang. Ada 2
orang dokter di situ. Tiga lainnya dokter muda. Sementara dua lagi, perawat
ruangan. Ayah berada di sisi bawah. Memegangi kaki Dodi.
Dua dokter tadi memompa dada Dodi. Berulang kali. Sesekali mereka
meminta obat. Sesekali juga meminta dipasang alat pemonitor detak jantung. Saya
mondar-mandir. Gelisah. Tak ada yang mau jawab ketika saya tanya kondisi Dodi. Kecuali
satu perawat ruangan, yang selama ini baik terhadap
Dodi dan mamak.
“Udah jelek kondisinya,” demikian kata perawat itu. Saya cemas.
Sambil sesekali keluar ruangan, untuk melihat mamak.
Mamak juga gelisah. Dilihatnya ekspresi saya setiap kali
berjalan keluar.
Dodi masih juga dipompa. Ada sekitar 3-5 menit. Setiap kali
dipompa, detak jantung dimonitor bergerak. Setelahnya, nyaris datar. Kalaupun ada,
itu getaran kecil, yang kata dokter merupakan efek dari obat yang diberikan.
Setelah memeriksa mata Dodi, dua orang dokter tadi meminta
keluarga mendekat. Saya papah mamak, dari luar ruangan. Kemudian dokter
menjelaskan.
“Ibu, sabar ya. Tepat pukul 07.30, dalam istilah medis, Dodi
Irwansyah sudah exit. Kita sudah berusaha. SOP sudah kita jalankan,” kata
dokter itu.
“Jadi anak saya ini cemmana? Tadi waktu kemari masih sehat
dia. Masih bisa jalan. Cemmana ini anakku?” kata mamak, di sisi kiri jasad
Dodi.
Tangis pun pecah. Saya rangkul mamak. Ayah menangis di
kakinya Dodi.
Ruang HD yang pagi itu sudah dipadati pasien yang akan
melakukan cuci darah mendadak hening. Mengharu biru. Mereka senyap mendengar
suasa tangisan kami.
Mamak masih tetap tidak percaya. Karena tadi malam, hingga
beberapa jam sebelum meninggal, Dodi masih lancar berkomunikasi.
Tapi, ini sudah janji Allah. Tiada daya dan upaya untuk
menolak. Adik saya, Muhammad Dodi Irwansyah telah tiada.
Dalam tangisan, pikiran saya melayang. Masih ingat ketika
Dodi mengutarakan niatnya untuk bekerja. Karena dia ingin menikah. Dan ingin hidup layaknya
pria normal lainnya.
Keinginan yang baru saya turuti seminggu sebelum dia wafat. Sebelum
dia berpenghasilan. Dan sebelum dia menikah.
Selamat Jalan Dodi. Selamat jalan adikku. Semoga Allah
menempatkanmu di tempat terbaik.
Yakinlah. Ini jalanmu. Ini rencana Allah. Semoga Allah
memilihkan bidadari terbaik di surga-Nya.
Aamiinnn…
Post a Comment