Makna Semeja Makan dengan Dahlan Iskan
Keteladanan seorang Dahlan Iskan, pernah saya
rasakan ketika berada satu meja makan dengannya. Ketika itu sedang musim
konvensi-konvensian (penjaringan calon Presiden dari Partai Demokrat). Di mana Abah,
menjadi salah seorang pesertanya.
Saya memang sedang dimabuk pesona dengan Abah,
ketika itu. Keinginan untuk bertemu dengan beliau begitu kuat. Entah kenapa. Padahal,
saya baru melihatnya satu kali. Itu pun di TV. Pada sebuah acara talkshow, di
stasiun TV yang kini jadi alat propaganda pemerintah.
Maka ketika tahu beliau akan hadir pada acara
konvensi di Medan, saya langsung ambil tekad: Harus hadir. Syukur-syukur bisa
ketemu. Bisa berjabat tangan. Dan bisa merasakan dekapannya.
Dan ternyata, jodoh. Allah mengizinkan. Semua yang
menjadi tekad saya: Terkabul. Alhamdulillah.
Sekira pukul 22.30 WIB acara debat pada Konvensi Partai Demokrat itu selesai. Lapangan di depan Istana Maimun Medan kembali menghijau. Setelah sebelumnya memutih oleh massa pendukungnya Abah.
Saya bersama beberapa Dahlanis, sejak siang. Bersama
mereka, kami sudah ketemu Abah. Termasuk bisa bersalaman dan berfoto. Namun saya belum bisa mendekap beliau. Tidak ada
momen.
Kami berencana pulang sebelum ide gila itu datang. Apalagi
karena sebagian besar misi juga sudah tercapai.
“Kita jumpai Abah di Hotel JW Marriot. Aku dah
mintak waktu. Dia menginap di situ,” kata Ferry Sumarlen, si pencetus ide gila,
yang sedari tadi SMS-an dengan pak Aziz. Yang menurut kabar sekretaris
pribadinya Abah.
Bersama rekan Dahlanis yang lain, kami bergerak. Tidak butuh waktu lama dari Istana Maimun. Apalagi
dengan lengangnya lalu-lintas Medan ketika malam.
Tiba dilobi, Ferry kembali sms-an
dengan Pak Aziz. Keberadaan Abah masih misteri. Sms tak kunjung dibalas. Ferry
juga coba menghubungi pak Joko Intarto (Jto). Si ‘Anak Lanang’ yang ketika itu
tengah intens-intensnya berkomunikasi dengan kami. Namun, hp nya mati. Tidak
aktif.
Sekira 10 menit menikmati sejuknya
lobi, sms pak Aziz masuk. Beliau mengarahkan kami menuju ke restoran hotel. Kami pun bergegas. Namun kembali
terhenti ketika bertemu pak Jto.
Setelah
berbincang-bincang sejenak, kami diantar menuju Abah. Disana Abah sedang menikmati santapannya. Semeja dengan
beberapa orang, yang sepertinya, berasal dari partai. Ada 3-4 kursi kosong
disamping Abah.
Saya merinding saat menulis bagian
ini.
“Ini ada anak-anak dari Medan dan Samosir pak, pengen ketemu
dan foto”, kata pak JTO beberapa meter sebelum meja makan.
Mendengar itu, sendok yang dipegang Abah langsung pindah ke piring
makannya. Padahal belum selesai. Beliau lantas berdiri. Sambil menyelesaikan
kunyahannya, Abah mencari tempat yang agak lapang.
“Ayo ayo…sini”, kata
Abah. Lalu kami ambil posisi untuk difoto.
Setelahnya, kami kembali disalami. Satu persatu. Saya yang
pertama. Perasaan grogi, nervous, takut salah, semuanya bercampur aduk.
Setelah menanyakan asal usul dan tempat tinggal, saya
mengucapkan hal yang nekad kepadanya: “Pengen
peluk Abah.”
Tanpa diduga, Abah langsung merespon. Dia merangkul saya.
Erat. Begitu erat. Saya pun membalasnya, sambil sesekali mengusap-usap punggung
Abah. Saya rasakan, kemeja putih kebesaran Abah itu sangat halus. Bener-bener
nggak nyangka.
“Jaga kesehatan ya
Abah”, ucap saya waktu itu. Lirih. Semuanya tentu berharap Abah tetap terus
sehat. Karena bagi siapapun yang mengenalnya, Abah itu sumber inspirasi.
Ikhlasnya Abah bener bener ikhlas. Tulusnya Abah bener bener
tulus. Saya kagum Abah apa adanya. Tidak peduli kelak akan seperti apa dan jadi
apa. Abah yang tulus benar-benar tergambar di eratnya pelukan itu
Selanjutnya,
Abah mengajak kami ke meja makan. Kami duduk di kursi yang kosong tadi. Tidak ingin menikmatinya sendiri, Abah mengajak
kami untuk ikutan makan.
Karena
biasanya akan membutuhkan waktu lama untuk memesan makanan lagi, maka apa yang
bisa
dibagi di meja makan itu, dibaginya. Termasuk sop kambing yang
dinikmatinya malam itu. Juga ikannya pak Jto, yang saya tebak itu ikan salmon.
Di
meja makan itu tercermin ketulusannya. Tiga kali bertemu Abah dalam setengah
hari itu, membuat saya makin kagum.
Post a Comment