Ke Ranah Minang (1): Nyaris Terjebak Skenario Nekat



"Tolong pak, buk. Genting. Genting. Beri saya jalan"

Teriakan saya memecah konsentrasi ratusan orang yang sedang antri.

Akibatnya, semua mata menoleh. Ke arah saya yang sedang tergopoh-gopoh. Penuh peluh. Dan sedikit gemetaran.

Sabtu, 17 Februari ini, merupakan jadwal pengambilan sertifikat kelulusan PLPG di Universitas Negeri Padang (UNP).

Karena Seninnya ada agenda yang juga super penting, maka saya berkesimpulan: Pergi ke Padang harus hari Sabtu, dan pulangnya sebelum Minggu.

Namun, rencana itu tak semulus jalan Tol Medan-Binjai. Rintangannya banyak.

Waktunya bertepatan dengan liburan panjang menyambut Imlek. Akibatnya, tiket pesawat nyaris sold out. Laris manis.

Setelah melalui serangkaian pertimbangan, saya akhirnya memilih keputusan yang tak biasa. Sedikit impossible. Dan kental spekulasi.

Untuk pergi,  saya memilih penerbangan paling awal ke Padang: 06.30. Dan untuk pulang, penerbangan pukul 11.20. Hari itu juga. Sabtu.

Butuh waktu 1 jam terbang dari Medan, ke Padang. Dan butuh waktu 45 menit hingga satu jam dari Bandara Minangkabau ke UNP.

Itu artinya, saya hanya memiliki waktu efektif selama satu jam lebih sedikit untuk mengambil sertifikat, legalisir, dan sertifikat teman lain yang sudah dikuasakan ke saya.

Tergolong nekat.

Perasaan ini sebenarnya sedikit tenang. Dua hari sebelum Sabtu, seorang petugas admin UNP menelpon saya. Mengumumkan bahwa sertifikat akan dibagikan pada hari Sabtu dan Minggu.

Beliau merupakan petugas yang sebelumnya menghubungi saya, ketika ada kesalahan pada data di sertifikat yang akan dibuat.

"Ok pak. Bisa," kata beliau, di ujung telpon. Saat saya menceritakan rencana kunjungan kilat itu, dan meminta sedikit bantuan untuk memperlancar serah terima sertifikat itu.

Maklum. Saya hanya punya waktu sejam. Lewat dari itu, saya bisa dua kali rugi. Waktu. Juga biaya.

Suasana Gaduh Jauh dari Harapan

Setidaknya panitia membuka 10 loket saat serah terima sertifikat.

Ketika saya datang, semua loket penuh. Sesak. Dua barisan berkerumun pada tiap loket. Dengan panjang antrian mencapai 10 meter. Casio saya menunjukkan pukul 08.45.

Android medioker buatan China berulang kali saya kotak-katik. Tujuannya satu: menghubungi sang admin.

"Saya baru aja keluar pak. Beli makanan. Bapak tunggu aja di pos satpam," kata beliau, di ujung telpon.

Saya mencoba tenang.

Lima menit kemudian, saya panggil lagi. Namun, jawabannya sama. Saya mulai cemas. Keringat mengalir deras. Tubuh mulai gemetaran. Berangkat sejak pukul 04.00 dari rumah, perut saya masih kosong. Belum ada apapun yang saya makan.

Lama saya berdiri. Mondar-mandir. Ke sana ke mari. Sebuah pesan masuk ke WA. Isinya file surat kuasa, dari seorang guru yang menitip untuk diambilkan sertifikatnya.

Sambil menunggu sang admin, saya cetak surat kuasa itu, di sebuah kios rental komputer. Ketika itulah saya bertemu sohib lama saya. Adrizal Martam.

Beliau merupakan rekan seangkatan CPNS. Yang sudah dua tahun ini pindah tugas ke Pariaman.

Sudah pukul 09.05. Namun sang admin masih belum juga nongol. Kembali saya telpon. Jawabannya diplomatis. Memberi angin.

Teman satu rombongan dari Medan mulai menanyakan status berkas saya. Mereka tahu saya terburu-buru. Saya bercerita ketika kami bertemu di ruang tunggu bandara. Tak mau makin grogi, saya kembali ke kios rental itu. Beli materai.

Seorang pria cepak berbadan tegap menatap saya saat memegang ponsel. Saya memang menghubungi nomor sang admin. Pria tegap itu mengambil ponsel di sakunya. Ternyata itulah sang admin.

Jawabannya Bikin Suasana Makin Panas

"Bapak masuk aja ke antrian. Nanti banyak yang cemburu kalau dibantu-bantu," kata pak Admin. Sambil membawa kantongan plastik hitam besar. Di tangan kanan dan kirinya. Plastik itu berisi sarapan buat anggota panitia lain, yang baru saja dibelinya.

Kontan. Jawaban itu membuat saya bagai disambar petir.

Kalau saya masuk ke antrian, pasti butuh waktu lebih lama. Sekarang saja sudah pukul 09.15. Paling tidak, saya sudah harus kembali ke bandara paling lama pukul 10.00 tepat.

Alamak. Rasanya seperti mau nangis. Keringat makin mengalir deras. Oblong yang saya pakai nyaris basah.

(Bersambung)









No comments