Ke Ranah Minang (2): Selamat dengan Play Victim
Sudah pukul 09.30. Matahari makin tinggi. Hari makin siang. Notifikasi di Google meraung-raung. Mengingatkan saya untuk segera ke bandara. Seperti itu jadwal idealnya.
Sementara itu, peserta kian ramai. Makin membludak jumlahnya. Diiringi suara yang kian riuh. Sesekali ada teriakan. Kadang kecil. Sesaat meninggi. Lalu mengecil lagi.
Celotehan, umpatan, dan bully-an juga terdengar cukup jelas. Kebanyakan akibat ada yang melanggar disiplin. Dan menerobos antrian.
Hingga detik ini, saya masih mengharapkan bantuan dari sang admin itu tadi. Satu-satunya petunjuk yang dia berikan adalah, sesegera mungkin ada di depan loket. Karena dia berjanji akan membantu.
Adrizal sesekali mendekat. Saya tahu, dia ingin menawarkan solusi. Sohib saya yang satu ini memang luar biasa baiknya. Beliaulah yang melengkapi kekurangan berkas sertifikat saya, ketika dihubungi admin UNP beberapa waktu yang lalu.
Sehingga saya berjanji. Untuk tidak merepotkannya lagi. Apalagi, Sabtu ini, dia sedang mendapatkan tugas untuk membimbing siswa mengikuti pelatihan dari Yamaha.
Berusaha Memelas Berbekal Muka Kasihan
Tiap loket dilengkapi dengan dua jendela dorong model panjang. Dua barisan yang sudah terbentuk ini, hanya antri pada satu jendela saja. Jendela lain, yang ketika itu tertutup, dibiarkan kosong. Padahal, ada dua orang petugas disitu. Yang satu wanita, masih muda. Dan satunya lagi pria. Sudah tua.
Entah karena ini waktunya, atau memang rezeki saya, jendela yang tertutup tadi tiba-tiba dibuka. Saya melihat peluang.
Dari barisan paling belakang, saya berlari menerobos ke depan. Memecah kerumunan antrian yang makin menyemut.
"Tolong pak, buk. Genting. Genting. Beri saya jalan."
Begitu saya ucap. Terus menerus. Hingga sampai ke barisan terdepan.
Berkas persyaratan pengambilan sertifikat, saya masukkan melalui jendela itu. (Demi menegakkan kedisiplinan, diharapkan tidak meniru adegan ini)
Untungnya diterima.
Dua orang ibu-ibu yang ada di barisan antrian paling depan, begitu sinis menatapi saya. Matanya menyapu. Dari mata kaki hingga mata kepala. Entah apa yang dilihat.
"Enak ya. Main serobot," katanya. Singkat. Sedikit kejam. Dan miskin senyuman.
Belum lagi dijawab, seorang lainnya memukul-mukul pundak saya. Pria. Membawa map.
"Ini barisan antrian ya mas?," tanyanya.
Saya menggelengkan kepala kepada pria itu saat menanggapi jawaban ibu-ibu itu tadi.
"Saya terburu-buru buk. Saya sudah pesan tiket pulang. Hari ini. Jam 11," jawab saya. Memelas. Dan dengan mimik kasihan.
Saya sengaja memainkan strategi Play Victim. Berpura-pura menjadi korban. Agar terlihat teraniaya. Dan memancing rasa kasihan orang lain. Seperti yang sering dilakoni oleh politikus tenar.
"Kok nekat kali bapak," jawab si ibu tadi. Dengan raut muka yang sudah lebih ramah.
Responnya positif. Artinya, strategi saya berhasil. Kekhawatiran saya terhadap bully-an karena melanggar antrian, tidak terbukti. Sehingga saya langsung melancarkan strategi berikutnya: Merayu petugas loket.
Serah Terima yang Bikin Deg-deg an
Berkas saya dicek. Dibolak balik. Dan akhirnya dikomentari.
"Lepaskan kelip staples nya. Kok susah sekali dibuka," kata panitia pria itu.
"Lihat nomor urut anda. Tuliskan di kertas itu," lanjutnya lagi.
Segera saya buka bekas kelipan staples yang mengikat tanda bukti peserta PLPG itu. Tangan saya gemetaran. Grogi. Khawatir. Cemas tertinggal pesawat, jadi satu.
Pada dinding kaca di depan loket, ditempeli dua lembar kertas. Hurufnya kecil sekali. Mungkin dicetak dengan font ukuran 9. Atau mungkin 10.
Teliti saya mencari nomor urut. Jari kanan saya menyisir perlahan. Gemetar. Seperti jarum seismometer yang mencatat gempa.
Dapat.
157. Angka itu saya tulis pada lembaran copy KTP. Besar-besar. Lalu saya serahkan kembali ke petugas pria tadi.
Selanjutnya, berkas saya itu diberikan kepada petugas satunya. Yang wanita.
Mungkin mereka sudah membagi-bagi tugas. Pikir saya.
Satu menit berlalu. Petugas wanita tadi nampak melayani barisan terdepan antrian yang sah.
Dua menit berlalu. Berkas saya masih belum dipegang. Saya bisa melihatnya dengan jelas dari balik loket kaca.
Sudah pukul 09.45. Saya berniat menelpon Azwar. Driver taksi online, yang mengantar rombongan kami dari bandara. Saya memang sudah memesan taksi onlinenya Azwar. Sesaat setelah roda Boeing 737-900 ER nya Lion menyentuh landasan.
"Sebentar ya pak. Kami break dulu. Nanti dilanjut," kata petugas wanita kepada kami. Beliau meminta waktu untuk istirahat selama beberapa menit.
Saya kaget. Waktu semakin mepet. Tergencet. Pikiranpun melayang jauh. Berkas belum juga dipegang, malah ditambah dengan break.
Alamak.
(Bersambung)
Post a Comment