Ke Ranah Minang (3): Happy Ending, Meski Dituduh Cuma Numpang Kencing
Saya melongo dan terperangah saat mendengar ucapan panitia wanita itu.
Namun, belum lagi saya berkomentar, ibu-ibu yang berada di barisan paling depan antrian yang sah itu bercuit. Persis seperti nyanyian burung Emprit.
"Is, tolonglah dek. Udah dari tadi kami ngantri," kata ibu berjilbab biru. Setelah itu saling bersahut. Sambut menyambut.
Di saat itulah muncul petugas admin berbadan kekar itu. Entah apa yang dia bilang. Yang jelas, panitia wanita itu berbalik arah. Dan mengurungkan niatnya untuk rehat sejenak.
Saya juga heran. Mantra apa yang diucapkannya. Karena, berkas persyaratan milik saya yang sedari tadi duduk manis di antara tumpukan kertas, diambilnya. Dibaca. Untuk kemudian diambilkan sertifikatnya.
Sejurus kemudian, saya disodorkan tanda terima berkas. Saya diminta membubuhkan tanda tangan di situ.
Saya senang. Riang. Girang. Bukan kepalang.
Rasa senangnya kira-kira, sama seperti ketika menandatangani buku nikah. Plong. Lega. Dan: SAH.
Saya salami ibu-ibu di antrian depan tadi. Setelah memastikan sertifikat itu milik saya.
Kemudian berlari. Dan mencari rekan satu rombongan, yang masih mengantri di barisan belakang.
Sudah pukul 09.55. Pesawat terbang pukul 11.20. Saya hanya punya waktu kurang dari satu jam setengah.
Saya telpon Azwar. Dia sudah berjanji akan mengantarkan saya kembali ke Bandara Minangkabau. Sesaat setelah tiba di UNP pagi tadi.
Panggilan saya dijawab. Saya disuruh menunggu di Gedung MKU. Dia akan menjemput. Sehingga tawaran Adrizal untuk mengantar saya ke gerbang UNP saya tolak.
Lima menit berlalu. Mobilio silver metallic milik Azwar belum juga muncul.
Hari kian panas. Keringat pun mengucur deras. Saya tahankan untuk tidak mencari tempat teduh. Hitung-hitung sekalian membakar kulit. Yang menurut seorang teman sudah mulai menguning langsat, sepulang dari New Zealand.
Nyaris sepuluh menit berlalu. Azwar belum memunculkan tanda-tanda datang. Saya panggil kembali dia, melalui ponsel. Suaranya muncul di ujung telepon.
"Bang, aku lagi ngantar penumpang. Jaraknya dekat. Tapi macetnya minta ampun. Abang tunggu aja di situ ya," kata Azwar.
Ucapannya jelas. Membuat saya makin tak tenang. Saat itu saya ambil botol Tupperware sedang dari dalam tas. Itulah tegukan pertama saya selama berada di Padang.
Untuk mengurangi waktu tempuh saat menjemput, saya ke gerbang UNP. Berjalan kaki. Lumayan juga jauhnya.
Nyaris pukul 10.15. Saya hanya punya waktu satu jam lima menit. Counter Check In pun rasanya sudah dibuka.
Azwar akhirnya muncul juga.
"Nggak usah pakai aplikasi bang. Bayarnya disamakan aja dengan yang tadi," begitu bilang Azwar. Saya iyakan. Sekaligus memintanya untuk menginjak pedal gas lebih dalam.
Sudah beranak dua, Azwar menceritakan pengalamannya ketika merantau. Pada sebuah perusahaan pengolahan kelapa sawit, di Jambi.
Dia juga menanyakan kepentingan saya. Dan kenapa kunjungannya sekilat ini.
"Udah macem pejabat abang. Datang, dilayani, pergi lagi. Seperti cuma numpang kencing," katanya.
Saya hanya bisa nyengir. Karena ucapannya mirip seperti driver taksi online, yang saya tumpangi ketika di Medan.
Pukul 11 lebih sedikit, saya tiba di Bandara Minangkabau. Counter Check in nya sudah sepi. Tapi ruang tunggunya tetap ramai.
Penumpang lain yang satu flight dengan saya sudah pada boarding. Sudah duduk nyaman di dalam kabin Sriwijaya Air.
Dan Alhamdulillah. Saya akhirnya menyusul mereka.
Akhir yang tentu saja membuat saya tenang.
Post a Comment