Yang Tersisa dari Rumah Kampung



Ke rumah ini kami kalau mudik. Rumah yang dibangun almarhum kakek dan nenek. Rumah tempat saya dilahirkan. Di kamar nomor dua. Yang waktu itu masih berlantai tanah.

Rumah ini letaknya sangat strategis. Di pinggiran jalan utama desa. Seberangnya pusat pasar mingguan. Yang rame jika hari Selasa.

Kalau lebaran, rumah ini full. Anak nenek yang delapan orang itu, dan cucunya yang entah berapa itu, pulang kampung. Ruang tamu disulap jadi kamar. Dapurnya -yang seukuran rumah saya itu- jadi seperti tempat pengungsian. Sesak.

Anda lihat loteng itu? Bagian yang seperti balkon pada sisi samping itu? Di situ dulu dijadikan tempat operator stasiun TV kabel. Bisnis ini dirintis oleh keponakan nenek.

Ketika itu, karena daya jangkau pemancar yang hanya di ibukota kabupaten -Rantau Prapat- penduduk setempat cuma punya satu pilihan kanal. Padahal stasiun TV sudah ada enam.

Maka mamang beserta satu ahli teknik temannya merintis TV kabel itu. Berbayar. Iurannya dikutip tiap bulan. Pelanggannya sampai ke kawasan kebun milik PT Smart. Yang di seberang stasiun KA Padang Halaban. Berjarak 20 kilometer.

Bisnis ini rupanya booming. Wak Yoto, abangnya mamak, ditugasi untuk menjadi kolektornya. Pundi-pundi pun mengalir. Modal usaha yang hampir seratusan juta yang digelontorkan mamang, sepertinya akan terbayar.

Sebelum badai itu tiba. Toko-toko di kawasan ibukota kabupaten mulai memasarkan receiver parabola murah. Ada diskon pula.

Maka masyarakat punya pilihan menonton. Kalau membeli receiver, mereka hanya perlu mengeluarkan uang sekali. Lalu punya banyak pilihan kanal untuk ditonton. Dari dalam negeri, dan luar negeri. Tontonan anak-anak, dan dewasa.

Kemudian membuat bisnis itu meredup. Satu per satu customer berhenti berlangganan. Wak Yoto pun sibuk. Menarik ulang kabel dan menggulungnya. Saya pernah sekali diajaknya. Saat libur sekolah.

Kini, setelah kakek dan nenek meninggal, rumah ini sepi. Anak-anaknya menyebar kesibukan hingga ke Medan, Sibolga, Bandung, Pekan Baru. Sedangkan cucu-cucunya yang entah berapa itu, sudah pada ke mana-mana.

Saat saya ke sana untuk ziarah, hanya ada kerabat yang bertugas merawat rumah. Menyisakan serpihan kenangan. Yang sulit untuk dirajut kembali.

No comments