Anak Penjaga Hutan Ini Lulus Kuliah S3 di Jepang. Hebat!
Tukiyat tak pernah menyangka. Bahwa Sawitri, putrinya, akhirnya bisa menyelesaikan kuliah S3 nya di Jepang.
Tukiyat yang berprofesi sebagai penjaga hutan di Gunung Kidul menceritakan bagaimana suka dukanya membiayai Sawitri sejak kuliah S1. Sempat pesimis saat akan melanjut ke jenjang S2. Dan akhirnya mendapatkan beasiswa penuh kuliah S3 di Jepang.
"Sejak kecil ia sudah hapal nama-nama Latin dari jenis-jenis pohon. Karena ia juga sering mendengar saat ada dosen dan mahasiswa lagi praktik lapangan," ujar Tukiyat sebagaimana dilansir Humas Universitas Gadjah Mada (UGM).
Tukiyat merupakan penjaga hutan Wanagama yang dikelola oleh UGM sejak tahun 1991. Sebagai penjaga hutan, ia bersama istri dan anaknya tinggal di hutan Wanagama.
Tidak ada tetangga atau warga yang tinggal di sekitar rumah mereka, yang ada di sekitar rumahnya hanya pepohonan dan semak belukar. Namun kondisi itu tidak jadi penghalang bagi Sawitri untuk belajar.
Justru lingkungan hutan menjadi media pembelajaran bagi Sawitri untuk mengenal hutan lebih dekat.
"Paling main di sekitar hutan atau membaca buku di rumah," kata Tukiyat.
Sawitri sebenarnya sempat bercita-cita menjadi anggota Polisi Wanita (Polwan).
Hal tersebut dia ungkapkan kepada Tukiyat, ayahnya, saat kelas 2 SMA. Namun tampaknya cita-cita itu luntur begitu saja, dia kemudian memilih untuk melanjutkan kuliah.
Keputusannya ini sempat membuat Tukiyat khawatir karena takut tak bisa membiayai kuliah anaknya. Bagaimana pun, gaji PNS dengan ijazah SMP tentu harus disiasati dengan kebutuhan uang kuliah dan pernak-perniknya.
"Waktu SMA kelas 2 sempat bilang kalau daftar Polwan gimana? Cuma bilang itu, tapi terus hilang," katanya.
Di tengah kegamangan soal kuliah, Tukiyat bertemu Muhammad Naim, Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM, yang memberi wejangan agar Sawitri melanjutkan kuliah. Saat itu Tukiyat masih ragu. Hingga Sawitri berkata padanya agar apa salahnya dicoba dulu saja.
"Anak saya keinginan sekolah (kuliah) tapi karena saya merasa tidak ada biaya saya bilang aku ra kuat ngeragati (saya tidak kuat membiayai) S1. Dia bilang coba aja dulu. Dan saya pikir mungkin lebih baik mencoba," kata Tukiyat.
Tukiyat sempat merasa takdir Sawitri memang tidak berkuliah setelah pada 2011 gagal masuk UGM melalui jalur undangan. Namun, takdir menemukan jalanya. Sawitri diterima di Fakultas Kehutanan UGM Prodi Silvikultur melalui jalur SNMPTN. Sawitri pun mendapat beasiswa Bidikmisi.
"Dapat beasiswa Bidikmisi jadi agak ringan di situ, terbantu besar. Dan itu digunakan untuk kecukupan anak sekolah. Nambahnya uang jajan, kos, fotokopi. Itu yang saya cukupkan," ujarnya.
Berkuliah di Fakultas Kehutanan menurut Tukiyat memang obsesi anaknya. Sedari kecil Sawitri terbiasa ikut dosen atau mahasiswa yang praktik di Wanagama. Sawitri kecil menyimak ketika orang-orang yang ahli di bidangnya inu berbicara. Tak heran, nama-nama tumbuhan termasuk nama latinnya, sudah Sawitri hafal sedari kecil.
"Memang suka hutan dia, saya rasakan suka. Karena mulai SMP bahkan SD sudah saya latih nyambung dan ngokulasi. Dan dia juga suka kadang tanya ini pohon apa, seperti itu. Kadang ada dosen dan mahasiswa praktik di sini dia suka mendengarkan," ujarnya.
Selanjutnya, saat Sawitri yang akrab disapa Fitri itu memutuskan ingin melanjutkan studi S2, Tukiyat mengakui perjuangan berat.
Sawitri tidak mendapat beasiswa. Namun karena tekad anaknya yang bulat, ia akhirnya berjuang untuk membiayai S2 di UGM tersebut dan berhasil lulus pada 2017.
"Hampir selesai S2, Prof Naim mendorong Fitri S3 ke Jepang. Saya sebagai orang tua jelas enggak mampu, S2 pun enggak sanggup sebenarnya. Tapi dengan dorongan dosen-dosen akhirnya diterima di Jepang dan beasiswanya dari Jepang, Universitas Tsukuba. Itu tahun 2017," kata Tukiyat.
Beasiswa S3 ini bersifat menyeluruh. Tak hanya pendidikan, biaya hidup Sawitri juga ditanggung oleh kampus. (detik/kump)
Post a Comment