Ini Nastiti Puspitasari. Doktor Tenaga Surya Internasional yang Berkarir di Perancis
Satu wanita lagi yang mengharumkan nama Indonesia. Namanya Nastiti Puspitosari. Arek Suroboyo yang masih belia. Umurnya pun baru 29 tahun.
Namun jangan ragukan kemampuan yang dimilikinya: Ahli tenaga surya internasional.
Nastiti menyelesaikan program S2 dan S3 nya di Perancis. Gelar PhD dalam bidang tenaga surya bahkan diraih saat usianya baru menginjak 26 tahun. Wow.
Ketika menempuh program S2, Nastiti mengambil spesialisasi tentang energi terbarukan di Ecole Polytechnique. Di sini, Nastiti menempuh konsentrasi konversi tenaga surya ke tenaga listrik melalui panel surya.
Kemudian saat S3 Nastiti menyelesaikan program doktoralnya di Universite Paris Sud & Centrale Supelec.
Risetnya yaitu melakukan pengukuran tingkat efisiensi material-material baru yang akan dipakai ke panel tenaga surya.
"Jadi saya melakukan pengukuran tingkat konversi dari tenaga matahari menjadi tenaga listrik yang bisa dicapai dengan material-material baru. Kalau ada ketidaksempurnaan material atau defect, maka tingkat konversi dari sinar matahari ke tenaga listrik jadi jauh lebih rendah dari yang seharusnya," kata alumnus ITS ini, Minggu (13/6) dinukil dari kumparan.
Karena kemampuannya itu, Nastiti diminati dan bekerja sebagai cost estimator di sebuah perusahaan penyedia pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Prancis.
"Jadi kami mengerjakan pembangunan pembangkit tenaga listrik tidak hanya di Prancis tapi juga di Amerika Serikat dan Amerika Selatan."
"Tugas cost estimatoradalah merancang pembiayaan proyek pembangunan pembangkit tenaga surya. Tugas saya untuk melihat kemungkinan apakah pembangkit tersebut bisa dibangun atau tidak (di daerah yang ditunjuk), lalu menganalisa apakah konversi listrik yang nantinya dihasilkan bisa memenuhi kebutuhan konsumen atau tidak."
"Lalu apakah pembangunan tersebut bisa memberikan profit untuk perusahaan," kata Nastiti yang juga alumni SMAN 5 surabaya ini.
Beberapa perusahaan besar seperti Facebook dan Amazon, kata Nastiti, juga sudah melirik pembangunan pembangkit tenaga surya untuk mensuplai kebutuhan listrik server-server mereka.
"Mereka (Facebook dan Amazon) juga menggunakan energi listrik terbarukan untuk server mereka yang besar. Mereka juga mulai memilih energi yang ramah lingkungan," kata Nastiti.
Panel surya merupakan komponen yang bisa mengubah energi sinar matahari menjadi energi listrik dengan menggunakan prinsip efek photovoltaic.
Efek photovoltaic adalah fenomena fisika dimana energi cahaya matahari yang mengenai permukaan sel silikon akan diubah menjadi energi listrik.
Arus listrik bisa dihasilkan karena energi foton cahaya berhasil membebaskan elektron-elektron di dalam semikonduktor silikon.
Contoh, sebuah sel surya yang terbuat dari bahan semikonduktor silikon mampu menghasilkan tegangan setinggi 0,5 volt dan arus sebesar 0,1 ampere saat terpapar cahaya matahari.
Menurut Nastiti, konversi energi dari sinar matahari ke listrik kini makin banyak pembaruannya. Ada juga jenis panel listrik bifacial yang bisa menyerap sinar matahari dari atas dan dari pantulan tanah.
"Panel listrik bifacial biasa dipakai di gurun pasir karena pasir sifatnya memantulkan cahaya. Banyaknya pantulan sinar bisa diserap kembali oleh panel untuk dikonversi jadi tenaga listrik. Karena dobel panel, maka tingkat konversinya juga tinggi sekitar 17-22 persen. Kalau yang 1 panel sekitar 10 persen," kata Nastiti yang pernah menyandang gelar Putri Lingkungan Hidup 2003 dari organisasi Tunas Hijau Indonesia ini.
Di Prancis, kata Nastiti, pemerintah setempat menarget pada 2025 Prancis sudah bisa mengganti suplai energi dari fosil dan batubara menjadi energi terbarukan. Salah satunya sinar matahari.
"Untuk pemakaian panel surya skala rumah tangga kalau di Indonesia mungkin masih mahal karena tidak ada subsidi pemerintah. Karena itu harus ada baterai yang bisa menyimpan kelebihan suplai sinar matahari. Sehingga baterai ini bisa dipakai kalau saat musim hujan atau saat jarang sinar matahari," kata Nastiti yang pernah menjadi delegasi Indonesia di acara konferensi anak tentang lingkungan hidup yang diadakan PBB di Amerika Serikat pada 2004 ini.
Indonesia, menurut Nastiti, jadi salah satu negara yang cocok dengan pengembangan PLTS. Sebab, sinar matahari di Indonesia cukup melimpah. "Panel tenaga surya itu lebih baik kalau dibangun di negara yang curah sinar matahari tinggi tapi tidak terlalu panas. Karena ternyata udara yang sangat panas bisa menurunkan tingkat konversi energi," kata Nastiti.
Saat ditanya apakah Nastiti akan kembali ke Indonesia untuk memberikan kontribusi ilmunya, alumnus SMP Negeri 1 Surabaya ini mengaku kalau bidang yang ia geluti masih sulit dikembangkan di Indonesia.
"Saya masih ingin belajar dan punya lebih banyak pengalaman tentang energi terbarukan. Bukan berarti saya lulus PhD dalam bidang tenaga surya lalu saya otomatis bisa mengamalkan ilmu saya. Menurut saya pengalamanlah yang bisa memberi kontribusi lebih optimal," pungkas Nastiti. (kump)
Post a Comment