(3) Banyak Yang Doakan Panjang-Panjang, Saya Berdoa Pendek
Oleh:
Dahlan Iskan
PUKUL 12.00 Senin (6/8) siang itu saya sudah diminta
melepas baju saya, pertanda waktu operasi sudah akan tiba. Diganti baju kertas
biru muda. Kepala saya juga dipasangi topi kertas dengan warna yang sama. Saya
pun sudah siap mental segera menuju ruang operasi di lantai 13.
Tapi, SMS masih terus mengalir masuk. Teman-teman Jawa
Pos, entah siapa yang punya inisiatif, lagi berkumpul di rumah saya di belakang
Graha Pena Surabaya. Mereka akan melakukan sembahyang dan doa bersama.
Saya segera menelepon Misbahul Huda, Dirut Percetakan
Temprina, yang akan menjadi imam pada acara itu. Saya minta suara teleponnya
dibesarkan. Agar, semua yang hadir di rumah saya bisa ikut mendengar kata-kata
saya. Setelah telepon siap, saya bertanya kepada yang hadir: apakah ada pertanyaan?
“Saya siap menjawab pertanyaan apa pun,” kata saya.
Salah seorang di antaranya bertanya apakah saya dalam
kondisi siap. Saya jawab, saya siap sekali. Ada yang bertanya, kira-kira
operasinya berlangsung berapa jam? Saya jawab sekitar 12 jam. Memang begitulah
yang dikatakan dokter kepada saya, berdasarkan pengalaman mereka.
Ada lagi beberapa pertanyaan dan harapan yang
disampaikan dengan penuh suasana prihatin. Untuk membuat agar suasana mereka
tidak sedih, saya tutup pembicaraan saya dengan kata-kata, “Sampai jumpa minggu
depan.” Maksud saya, kira-kira saya perlu waktu satu minggu untuk bisa bicara
lagi dengan teman-teman itu: satu hari operasi (pasti saya tidak bisa bicara),
tiga hari di ICU (juga pasti belum bisa bicara), dan dua hari memulihkan badan.
Genap satu minggu, saya pikir, saya sudah akan bisa bicara lagi. Setelah tidak
ada pertanyaan, telepon saya tutup.
SMS terus mengalir masuk. Dari Madiun menceritakan
bahwa keluarga tasawuf sathariyah lagi berkumpul untuk ber-zikir-pidak, yakni
mendengungkan kata “hu” bersama-sama sebanyak 99.000 kali. Tentu dengan sistem
borongan. Artinya, kalau yang mengucapkan lebih banyak orang, waktu yang
diperlukan tidak perlu teralu lama. Dengungan “hu” adalah hasil compression
(untuk meminjam istilah software komputer) dari kalimat syahadat. Kalau
di-decompression, kata “hu” itu akan menjadi kalimat panjang: aku bersaksi
tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusam
Allah. Mungkin, kalau harus mengucapkan kalimat yang begitu panjang sebanyak
99.000 kali dirasa akan memakan waktu yang lama sekali, sehingga perlu
di-compress menjadi satu dengungan “hu” saja. Siapa menyangka bahwa zikir pun
sejak dulu sudah di-compress seperti itu.
Tapi, sistem compression zikir seperti inilah yang banyak
dikecam aliran tasawuf lain dan terutama oleh kalangan syariah formal. “Kalimat
syahadat kok dipadatkan,” kata mereka. Ini seperti juga Bung Karno yang dikecam
telah menyelewengkan kemurnian Pancasila yang dia temukan sendiri. Yakni,
ketika Bung Karno meng-compress Pancasila yang panjang itu menjadi satu kata
yang simpel dan pas: gotong royong.
SMS juga masuk dari teman-teman Kristen dan Katolik.
Mereka mengirimkan doa-doa yang saya ketahui diambilkan dari Alkitab. Ibu Eric
Samola, istri mendiang Pak Eric Samola, yang dulu punya inisiatif mengambil
alih Jawa Pos dari keluarga The Chung Shen, mengirimkan doa paling panjang.
Tokoh Buddha Surabaya juga mengirim SMS dan
memberitahukan bahwa hari itu berkumpul lebih 1.000 penganut Buddha di shi mian
fo (Buddha empat wajah) di Kenjeran. Mereka akan berdoa terus selama saya
dioperasi. Karena itu, dia minta dikabari kalau operasi sudah selesai. Kalau
tidak, doanya tentu tidak akan dihentikan. Saya berpesan kepada istri agar
jangan lupa memberi tahu mereka nanti. Tempat ibadah itu memang saya yang
meresmikan beberapa tahun lalu.
Teman-teman dari penganut aliran kebatinan Sapta
Dharma juga mengirim SMS, bahwa siang itu 200-an tokohnya berkumpul di Pujon,
Malang. Mereka melakukan doa berdasar kepercayaan mereka untuk keberhasilan
operasi saya. Demikian juga penganut aliran Sai Baba, mengirimkan doa panjang
yang biasa diucapkan Sai Baba di India sana.
Pukul 14.00 kurang 15 menit, kereta brankar sudah
datang dengan beberapa orang yang berbaju biru muda. Itulah petugas ruang
operasi. Saya harus segera berbaring di kereta itu. Sebenarnya saya bisa
berjalan sendiri ke ruang operasi. Badan saya sangat sehat. Tapi, peraturan
tidak membolehkannya.
Saat saya sudah berbaring di kereta, Pak Mustofa,
akuntan terkemuka Surabaya, telepon minta bicara. Ternyata, dia lagi makan
siang dengan para pengusaha teman saya di Hotel Shangri-La Surabaya. Lalu, saya
beri tahu bahwa saya sudah tidak punya waktu bicara. Saya sudah di atas kereta
yang siap berangkat ke ruang operasi. Pak Alim Markus, yang rupanya ikut makan
siang, memaksa bicara untuk memberi dorongan semangat agar saya kuat memasuki
ruang operasi. Alim Markus juga pernah tiba-tiba sakit yang amat membahayakan
hidupnya. Tapi, semangatnya untuk sembuh luar biasa. Saya sering mengatakan
padanya, semangatnya itulah yang ikut mendorong saya punya semangat yang sama.
Istri saya terus komat-kamit. Rupanya berdoa dengan
serius. Anak laki-laki saya sibuk memotret. Saudara angkat saya, Mr Guo dan
sahabat karib saya Robert Lai dari Singapura, memegangi tangan saya. Kereta pun
didorong keluar dari ruang saya di lantai 11 untuk dibawa ke lift naik ke
lantai 13. Ketika melewati kamar pasien dari Jepang, dia terlihat mengepalkan
tangan ke arah saya, tanda ikut memberi semangat.
Tak sampai 5 menit saya sudah tiba di lobi lantai 11,
di depan lift yang akan membawa saya ke lantai 13. Ada lima lift di situ. Dua
lift ukuran normal, tiga lift ukuran besar untuk mengangkut kereta pasien. Lift
terbuka, tombol 13 dipencet, panah naik menyala. Zoom! Tibalah saya di lantai
13.
Istri, anak, saudara angkat saya, dan Robert Lai
mengantar ke lantai 13, tapi hanya bisa sampai di pintu tertentu. Setelah itu
semua harus melepaskan tangan dari tubuh saya. Mata istri saya kelihatan
sembap. Juga mata Robert Lai.
Robert Lai adalah orang yang rajin berpesan kepada
siapa pun, agar saat mengantar saya ke lantai 13 nanti, jangan ada yang
menangis. Juga jangan ada yang mengeluarkan air mata. Tapi, saya lihat dia
sendiri ternyata terisak-isak ketika melepas saya untuk dibawa petugas ke
tempat yang dia tidak bisa lagi menyertai saya.
Sambil menahan tangis, dia akhirnya berteriak: “jia
you!” tiga kali. “Jia” artinya tambah. “You” artinya bensin. Tapi, “jia you”
dalam bahasa Mandarin berarti “semangatlah!” .
Lalu pintu ditutup. Saya tidak bisa lagi melihat
istri, anak, Saudara Guo, dan Robert Lai. Tinggal saya dan beberapa petugas
yang terus mendorong kereta itu ke ruang operasi.
***
Kereta didorong amat cepat. Rupanya saya harus segera
tiba di ruang operasi, karena sedikit agak terlambat dari jadwal. Saya amati
lorong-lorong apa saja yang dilewati kereta ini. Oh, harus menyeberang ke
gedung sebelah, rupanya. Gedung rumah sakit ini memang terdiri atas dua tower,
masing-masing berlantai 15. Di lantai 12 sampai 14, ada lorong untuk
menyeberang dari gedung kiri ke gedung kanan. Saya akan dioperasi di gedung
kanan.
Seluruh lantai 13 adalah ruang operasi. Rumah sakit
ini, dalam waktu bersamaan, bisa melakukan 30 operasi penggantian organ. Mulai
ganti ginjal, mata, jantung sampai ganti liver seperti saya.
Dalam perjalanan sepanjang lorong-lorong itu saya
menyadari bahwa saya tadi belum sempat berdoa. Saya harus berdoa. Saya tidak
mau ada kesan bahwa saya sombong kepada Tuhan. Tapi, segera saja saya terlibat
perdebatan dengan diri saya sendiri: harus mengajukan permintaan apa kepada
Tuhan? Bukankah manusia cenderung minta apa saja kepada Tuhan sehingga terkesan
dia sendiri malas berusaha? Saya tidak mau Tuhan mengejek saya sebagai orang
yang bisanya hanya berdoa. Saya tidak mau Tuhan mengatakan kepada saya: untuk
apa kamu saya beri otak kalau sedikit-sedikit masih juga minta kepada-Ku?
Karena itu, saya memutuskan tidak akan banyak-banyak
mengajukan doa. Saya tidak mau serakah. Kalau saya minta-minta terus kepada
Tuhan, kapan saya menggunakan pemberian Tuhan yang paling berharga itu: otak?
Maka saya putuskan akan berdoa se-simple mungkin.
Tapi, masih ada pertanyaan yang tiba-tiba muncul.
Apakah saya harus berdoa dengan biasa saja atau harus sampai menangis? Kalau
doa itu saya sampaikan biasa-biasa saja, apakah Tuhan melihat saya sedang
serius memintanya? Tapi, kalau harus saya ucapkan sampai menangis dan
mengiba-iba, apakah Tuhan tidak akan menilai begini: lihat tuh Dahlan. Kalau
sudah dalam posisi sulit saja dia merengek-rengek setengah mati. Tapi, nanti akan
lupa kalau sudah dalam keadaan gembira! Saya tidak ingin Tuhan memberikan
penilaian seperti itu.
Apalagi, saya juga tahu bahwa sistem file di kerajaan
Tuhan tidak membedakan doa yang dikirim secara biasa, secara khusus maupun
secara tangis-menangis. Tuhan punya sistem file-Nya sendiri, entah seperti apa.
Waktu terus berjalan. Perdebatan di hati saya belum
selesai. Padahal, kereta sudah hampir sampai di ruang operasi. Akhirnya saya
putuskan berdoa menurut keyakinan saya. Satu doa yang pendek dan mencerminkan
kepribadian saya sendiri: Tuhan, terserah engkau sajalah! Terjadilah yang harus
terjadi. Kalau saya harus mati, matikanlah. Kalau saya harus hidup,
hidupkanlah! Selesai. Perasaan saya tiba-tiba lega sekali. Plong. Kereta pun
tiba di depan ruang operasi. (sumber)
Post a Comment