Darah Terakhir
Dua puluh empat jam sebelum mamak wafat.
Di luar hujan rintik-rintik. Setengah jam lagi pukul 10. Saat sedang tadarusan, android saya berkerik menandakan pesan masuk.
“Darahnya harus ada malam ini bang,” tulis Fika di WA.
Mamak memang butuh darah lagi hari itu. Satu kantong sudah diambil Rifa dari PMI. Ternyata HB nya masih di bawah normal. Masih butuh satu kantong lagi.
Malam makin larut. Kebanyakan orang sudah lelap. Apalagi besok harus bangun cepat untuk sahur.
Di rumah, saya memeras otak. Bagaimana caranya supaya bisa mendapat satu kantong darah lagi.
Badan sampai mandi keringat. Karena darah itu harus didapat dari pendonor. PMI hanya membolehkan membeli satu kantong. Stok terbatas.
Seribu pertanyaan dan jawaban melintas di otak saya. Siapa coba yang mau mendonorkan darahnya malam-malam begini. Kalaupun ada, apakah golongan darahnya cocok?
Kalaupun iya, apa mau mendonorkan darahnya ke RSUP H Adam Malik. Yang jauh itu. Dan yang….
Di tengah kekalutan itu terbersitlah satu nama: Angga Maulana. Junior yang usianya terpaut jauh di bawah saya.
Melalui pesan WA, Angga pernah menawarkan dirinya untuk menjadi pendonor.
“Golongan darah Angga O+ bang. Angga siap donor. Tapi Angga baru aja donor satu bulan yang lalu,” katanya awal Maret yang lalu.
Ketika itu saya menolak pengajuan Angga. Karena ia pasti tak diizinkan dokter untuk mendonor.
“Paling sedikit 10 minggu setelah donor baru bisa mendonorkan lagi ngga. Tapi nggak apa-apa, nanti kalau waktunya tepat, Angga bersedia kan kalau abang minta untuk donor?,” solusi saya saat itu.
Angga mengiyakan.
Maka malam itu juga saya menghubungi Angga.
Hampir pukul sebelas. Bukan waktu yang tepat menghubungi orang lain yang bukan saudara. Apalagi dengan permintaan yang super berat: darah.
“Siap bang. Insya Allah bisa. Tapi istri minta ikut juga ke rumah sakit ya bang,” jawab Angga.
Alhamdulillah.
Angga dan istrinya memang hanya tinggal berdua. Setelah menikah, mereka membeli satu unit rumah di Martubung. Mereka pasangan yang serasi. Angga ganteng. Istrinya cantik.
Saya tiba lebih dahulu pada tempat yang dijanjikan. Di depan SMK Budi Agung. Angga memarkirkan sepeda motornya di situ.
Jalanan telah sepi. Rerintikan hujan bermain-main di atas aspal.
Suara tadarusan biasanya membuat malam ramadhan akan lebih panjang. Namun anjuran untuk beribadah dari rumah, tidak memungkinkan itu.
Tidak berapa lama menunggu, Angga dan istrinya akhirnya datang.
Melihat mereka berlari-lari kecil ketika hendak menyeberang. Lalu tergesa-gesa merapat ke mobil yang saya parkirkan, kok bulir air di mata ini rasanya hendak jatuh. Entah kenapa.
Padahal mereka menempuh perjalanan malam yang bisa saja membahayakan. Dan bukan diajak untuk pesta atau hura-hura. Melainkan untuk diambil darahnya. Masya Allah.
Tiba di rumah sakit sudah lewat tengah malam. Rifa sudah menunggu di parkiran. Angga lalu saya bawa ke unit transfusi, untuk memeriksa kadar HB dan kecocokan golongan darahnya.
“Udah ada pendonornya bang? Mamak masih belum sadar,” tanya Fika melalui WA. Mamak saat itu sudah dipindah ke ruang HCU.
Saya berharap proses transfusi ini akan cepat. Karena darah yang diambil dari pendonor tidak bisa langsung diberikan kepada mamak. Harus melalui tahapan screening. Yaitu sekira 4-5 jam.
“Sesuai peraturan yang baru, pendonor harus kami tes bebas Covid-19 ya pak. Hasilnya akan keluar satu jam lagi,” kata petugas lab.
“Alamaaaak…… Bakalan makin lama ini,” gumam saya.
Saya membayangkan wajah mamak. Lalu melirik ke arah Angga. Syukurnya dia sabar. Lalu mengikuti kemauan petugas untuk dites darahnya.
Setelah dipastikan hasil tesnya negatif, proses transfusi dimulai. Mata Angga kelihatan sayu. Istrinya yang setia mendampingi, merangkul jaket untuk mengusir dingin.
Satu kantong darah lalu dipuluk-puluk petugas. Kemudian ditransfusikan sebelum subuh. Beberapa jam kemudian, mamak wafat.
Darah Angga, merupakan darah terakhir yang masuk ke tubuh mamak. Dibawanya hingga ke liang lahat.
Maka ketika Senin tadi ketemu Angga. Saya terus berucap terima kasih. Saya merasa berhutang budi kepada Angga. Dan tak tahu harus membalas dengan cara apa.
Hutang ini, jelas tak akan mampu saya bayar.
Terima kasih ya ngga. Abang doakan Angga makin ganteng. Makin mirip dengan Evan Sanders. Dan sesegera mungkin dianugerahi momongan.
Aamiin…
Post a Comment