Imigran Digital
Oleh: Suryaman Amipriono
Tahukah anda. Bahwa dalam rentang waktu hanya 60 detik. Ada 3,5 juta orang yang berselancar memanfaatkan jasa mesin pencarian Google. Ada 900 ribu pengguna Facebook yang log in. Dan ada 4,5 juta video Youtube yang ditonton.
Kenyataan itu tersaji sebagai fakta yang dibedah dalam acara Microsoft Eduday 2019. Yang dilaksanakan Rabu (6/3/2019) di Adi Mulia Hotel Medan.
Hadir sebagai peserta undangan, saya tertarik dengan pembahasan ini: Akan seperti apa format pembelajaran yang dilaksanakan pada Kelas Masa Depan?
Berkembangnya revolusi industri 4.0 secara sadar atau tidak sadar. Mau atau tidak mau. Memaksa sebagian besar penduduk bumi untuk memberi atensi atas isu tersebut. Kalau abai, siap-siap untuk tertinggal. Dan jika tak mau tahu, siap-siap untuk tersingkir dari ketatnya kompetisi.
Isu itu pula yang harus diwaspadai oleh pendidik. Dalam era industri 4.0 ini, pendidikan merupakan salah satu sektor yang paling parah terpapar pengaruh transformasi digital. Poin penting dalam era industri tersebut.
Pendidikan dituntut harus mampu menciptakan kelas modern. Sebagai proyeksi kelas masa depan. Yaitu, kelas yang berbasis IOT. Internet of Things.
Kelas masa depan yang dimaksud, nantinya, akan dihuni oleh calon siswa yang berasal dari generasi Digital Natives. Yaitu, mereka yang sedang dan atau sudah lahir pada zaman yang serba digital.
Andai peluncuran jaringan 4G pada tahun 2009 dianggap sebagai penanda bergulirnya era digital. Itu artinya, semua penduduk Indonesia yang lahir setelah tahun-tahun itu, bisa disebut sebagai generasi Digital Natives.
Sebagai catatan, saat ini, ada 29 juta siswa SD di seluruh Indonesia. Mereka ini adalah generasi digital. Yang ketika bangun pagi sudah mendengar istilah Facebook. Makan siangnya sudah akrab dengan aplikasi Video Call. Dan membaca isi cerita pada aplikasi Wattpad di android ketika akan tidur.
Kabar buruk bagi generasi Digital Natives itu adalah ini: Mereka akan dihadapkan pada hilangnya beberapa pekerjaan konvensional. Yang punah karena tergantikan oleh mesin dan robot-robot otomasi. Misalnya yang paling gampang ya, penjaga pintu tol dan penjaga pintu parkir.
Kelak, pengemudi bisa saja menjadi pekerjaan yang punah. Apalagi jika kendaraan otonom diproduksi massal. Apakah itu berupa mobil, kereta api, atau bahkan pesawat terbang.
Tantangan itu memunculkan pertanyaan: Akan seperti apa pola pembelajaran pada masa mendatang? Tahun di mana sebagian besar siswa ingin menjadi youtuber dibanding menjadi tentara. Periode di mana mereka lebih berminat menjadi pilot drone, atau vlogger, atau selebgram dibanding menjadi PNS.
Semua jawaban itu bergantung dari kesiapan sekolah, pimpinannya, serta guru sebagai pendidik. Sekolah dituntut harus kreatif. Membentuk iklim pembelajaran modern. Agar mampu mengkreasikan lulusan yang siap menyambut pekerjaan yang belum ada. Dan bakalan ada.
Namun ndelalahnya. Guru yang tengah eksis saat ini, berasal dari zaman yang berbeda dari kebanyakan siswanya. Mereka merupakan generasi Digital Immigrants. Yaitu, mereka yang hidup lintas zaman. Menjadi saksi dan pelaku berkembangnya era digital.
Mereka merupakan generasi yang dahulunya mendapatkan informasi melalui koran. Lalu berkembang melalui radio. Lalu melalui televisi. Selanjutnya berkomunikasi menggunakan telepon kabel. Berikutnya menjadi telepon seluler. Berkomunikasi melalui media sosial. Hingga berinteraksi melalui aplikasi chatting. Dan seterusnya. Dan seterusnya.
Andai adaptasi menghadapi perkembangan itu baik, maka bisa menjadi baik pula hasilnya. Namun jika tidak, ya…tinggal pasrah saja.
Guru berkategori imigran digital bukan lagi bertipe Single Tasking Teacher. Yang ketika masuk kelas meminta siswa membuka buku. Lalu meminta mereka mencatatnya. Kemudian menjelaskannya.
Guru bertipe imigran digital harus berperan sebagai Multi Tasking Teacher. Yang harus mampu membaca situasi zaman. Beradaptasi. Kemudian menerapkannya melalui pembelajaran di kelas. Melalui media ajar yang berbasis digital. Salah satunya memanfaatkan media sosial dalam pembelajaran.
Guru imigran digital juga harus mampu mengembangkan bakat dan potensi siswanya. Sehingga siswa paham. Bahwa ujian bukanlah segalanya. Bahwa satu nilai yang rendah, tidak akan membuyarkan mimpi mereka.
Apakah siswa yang memiliki bakat menyanyi harus memiliki nilai yang tinggi pada mata pelajaran kimianya supaya mereka terkenal? Tidak. Mereka cukup menguasai pelajaran seni. Apakah seorang siswa yang berpotensi menjadi atlet harus memiliki nilai fisika yang tinggi agar sukses menjadi atlet professional? Tidak. Mereka diharuskan menguasai kemampuan olah fisik.
Sebab. Keterampilan akan menjadi kunci utama keberhasilan siswa. Termasuk andai siswa itu memilih untuk masuk ke dunia industri. Ketika saat itu tiba. Sertifikat keterampilan lebih berharga dibandingkan dengan ijazah.
Siswa pada abad 21, membuat pendidikan pada era industri 4.0 cukup menantang. Makin tertantang jika gurunya masih berkutat pada kebiasaan di era abad 20. Dan membuat berhenti tertantang andai sekolah. Apalagi kepala sekolahnya, masih memiliki alur pikir seperti abad ke-19.
Post a Comment