Magnet Filosofi



Akhirnya disenggol juga. Inilah yang saya tunggu-tunggu. Elektabilitas pengamat yang difollow. Dan di re-tweet akun medsosnya oleh ribuan netizen. Membuat abah Dahlan Iskan tergoda untuk me-mention namanya. Setidaknya dalam satu-dua tulisannya belakangan ini.

Buah pemikiran pengamat ini memang sukses memincut banyak orang. Memancing akal sehat yang hampir tidur. Dan menggoda nalar untuk berfikir lebih jernih.

Mencermati sosok beliau, membuat saya teringat akan seorang dosen. Yang cara menyampaikan materi kuliahnya mirip-mirip dan hampir sama. Mengkaji ilmu dengan cukup genit. Hingga membuat jalan pemikiran menjadi lebih bergairah.

Akibatnya. Deviasi tujuan pembelajaran menyimpang jauh. Mata kuliah Pengujian Performansi Mesin yang digelar di bengkel bubut, berubah menjadi materi filosofi. Yang mempelajari tentang hakikat mengenai kebenaran. Dalam segala bidang.

Herannya, kami tidak ada yang protes. Mungkin sudah terlanjur merasakan nikmat mengikuti arus liar pemikiran yang disajikannya. Mungkin juga, karena ogah menyanggah.

Satu dari sekian banyak materi kontroversialnya yang saya ingat adalah ini: Dari pengamatannya, mengapa iring-iringan mobil jenazah warga keturunan lebih sering dikawal polisi dibanding dengan warga etnis pribumi. Apakah mengawal jenazah dan pernikahan warga keturunan itu menjadi salah satu tugas pokoknya polisi? Atau. Bolehkah oknum polisi ‘memungut pajak’ dari rakyat di jalanan?

Sayangnya ketika itu belum ada undang-undang tentang ujaran kebencian. Sehingga kami tidak bisa menilai apakah pertanyaan ini masuk kategori itu atau tidak.

Yang jelas, beliau menerima apapun jawaban yang kami lontarkan. Untuk kemudian dibahas. Dan diuji kebenarannya.

Kesamaan lain antara dosen saya dan pengamat politik itu adalah: Gelar akademis.
Dia mengabaikan kewajiban seorang dosen harus kuliah lagi. Harus bergelar master. Apalagi saat itu gelarnya hanya sarjana.

Ucapannya saat itu, bermakna hampir sama dengan quote sang pengamat baru-baru ini. Bahwa ijazah merupakan bukti seseorang telah sekolah. Bukan merupakan bukti bahwa dia telah belajar. Atau telah berfikir.

Ridolf Sianturi, berhasil meletakkan pondasi ilmu berfikir itu. Dan Rocky Gerung sukses menyempurnakannya.

No comments