Membilas Stigma
Kira-kira apa ya yang dirasakan oleh guru honorer. Yang per bulannya masih menerima gaji Rp 450.000. Ketika mendengar rencana pemindahan ibukota negara. Yang membutuhkan dana hingga Rp 400 Triliun itu?
Jangan dijawab. Karena bukan itu yang ingin saya bahas untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional ini.
Meskipun telah berlalu satu hari, namun saya masih kepikiran. Mengapa peringatan Hari Buruh Internasional dan Hari Pendidikan Nasional itu berdampingan. Pada dua hari pertama di bulan Mei.
Hari Buruh tanggal 1 nya. Sedangkan Hari Pendidikan tanggal 2 nya. Sehingga kalau ada yang menggabungkan keduanya. Lantas membuang kata ‘Hari’nya. Kedua peringatan itu akan menjadi: Buruh Pendidikan.
Pendidikan itu yang dilihat outputnya. Banyak masyarakat yang menilai begitu. Sehingga jika ada yang beranggapan: “Pendidikan kita masih kurang mutu. Buktinya, itu moral siswanya terjun bebas. Belum lagi lulusannya banyak yang jadi pengangguran.” Meskipun pedih, tetap kita harus membela. Karena masih bagian dari sistem. Yang turut berkontribusi meskipun itu baru secuil.
Namun yang membuat nyesak. Saat banyak orang di luaran sana. Yang dengan gampangnya melemparkan pertanyaan liar: “Bagaimana pendidikan di sekolah mau bagus. Kalau untuk menjadi kepala sekolah saja mesti menyetor uang hingga ratusan juta.”
Pernyataan yang membuat geram. Apalagi ketika mendengar ini: “Apa benar dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) itu tak tepat sasaran? Hanya menjadi ‘bahan arisan’ kalian di sekolah?” Glek. Naik asam urat ini mendengar itu. Dikiranya yang bertugas di sekolah itu menjadi pengelola dana BOS semua.
Meskipun begitu, tetap saja kita harus melakukan hal yang positif. Untuk membilas segala stigma tentang pendidikan yang beredar di masyarakat.
Seperti kedua siswa andalan saya ini. Yang di kiri bernama Muhammad Al Hafizh. Siswa berdikari yang mengambil upah jualan Sate Padang milik induk semangnya. Sejak kelas XI.
Sementara yang di kanan, Ricky Renaldi. Siswa cekatan. Yang sudah dipercaya mengelola bengkel sepeda motor milik pimpinan jaringan servis sebuah merek motor ternama.
Keduanya tumpuan saya. Bukan hanya ketika akan diambil fotonya. Tapi dalam kegiatan sehari-hari pembelajarannya.
Hasilnya, si Ricky itu dinyatakan lulus SNMPTN program studi Pendidikan Teknik Otomotif di Universitas Negeri Medan. Dan dinyatakan diterima bekerja tanpa melalui tes pada salah satu jaringan AHASS di Binjai.
Pilihan yang sulit buat anak muda itu. Saya sampai memintanya untuk mempertimbangkannya dengan dalam. Mendiskusikannya dengan orangtua. Dan menunaikan salat Istikharah sebelum mengambil keputusan.
Termasuk, apakah mereka harus mewujudkan pekerjaan yang sesuai dengan cita-citanya. Hafizh ingin mengabdi di kesatuan TNI. Sedangkan Ricky ngebet menjadi masinis PT KAI.
Cita-cita yang membuat saya lega. Setidaknya mereka belum berminat menjadi komisioner penyelenggara pemilu itu….
Post a Comment