Nak, Jangan Kau Tuhankan Ijazah
Dulu ada salah satu guru ngaji saya yang begitu radikal (baca: mengakar dalam agama). Pandangannya sungguh kontroversial.
"Ijazah itu haram!", ujar beliau.
Alasannya, ijazah sudah menjadi tuhan. Jadi gantungan hidup satu-satunya dan seolah tidak ada lainnya. Dan yang demikian itu, musyrik, katanya.
Tak ada yang berani terang-terangan membantah guru satu ini. Para murid hanya bisa ngedumel di belakang.
Saya coba beranikan diri membantah ucapannya. Dengan argumentasi lantang saya kemukakan:
Tujuan pendidikan itu memang bukan ijazah. Kertas ijazah itu cuma sarana yang berfungsi sebagai penanda capaian jenjang belajar. Makanya, di Mesir atau Madinah disebut syahaadah. Selembar bukti kesaksian bahwa seseorang telah melewati tahapan akhir.
Beliau tak senang. Di lembaga pendikan yang sangat doktrinal ini, mana ada namanya dialog. Jika ada murid berani membantah ucapan guru, maka akan digelari santri yang ghoiru muthi'. Santri bengal alias tidak taat.
"Bahkan... ijazah masih bermanfaat. Minimal buat bungkus kacang", ujar salah satu santri dengan sengit.
Itu terjadi pada kurun 1986-1987. Atau 35 tahun lalu.
Sebetulnya, secara hakikat saya memahami jalan pikiran guru ngaji saya ini. Hanya memang bangunan berpikir beliau ngegasnya kelewat banter.
Dan itu bukan hal aneh bagi saya.
Sebab, pada saat yang sama, ayah saya juga mengatakan sebagaimana yang telah saya tulis kemarin. Yai Dim mengatakan:
"Kelak dunia tidak membutuhkan ijazah, tetapi apa yang bisa kamu kontribusikan bagi dunia".
Kalimat Yai Dim itu jauh lebih membumi dibanding ucapan guru saya yang melangit-neraka itu. Saya langsung menghayatinya sesuai alam pikiran keremajaaan saya.
Bahwa ketika kelak saya punya kesempatan kuliah, fokus perhatian saya adalah kepada bagaimana mengembangkan potensi sesuai kecenderungan minat dan bakat saya. Dan kesadaran itu sudah demikan mengakar atau radikal sejak saya kelas tiga SMP.
Hasilnya, sungguh nyata. Saya tidak mengharamkan ijazah. Namun saya berhasil membuktikan tanpa ijazah tetap bisa eksis dan diterima di mana pun. Sampai hari ini.
Berikut ini buktinya.
Pada kurun 1990 - 2004 atau selama 14 tahun saya pernah berkerja pada 8 perusahaan atau institusi berbeda. Diantaranya bekerja bersama para ekapatriat dari berbagai negara.
Beberapa diantaranya bahkan sempat merangkap. Pagi sampai sore bekerja di perusahaan A, sore sampai malam di perusahaan B.
Dari 8 lembaga itu tidak satu pun yang bertanya sekolah saya apa. Boro-boro menanyakan ijazah saya

Dan itu konsisten saya praktikkan dalam sistem ketenagakerjaan di perusahaan saya. Saya tidak pernah tanya apa sekolah mereka. Yang saya tanyakan kepada mereka:
"Kalian bisa apa dan bagaimana mereka akan mengkontribusikan kompetensi mereka untuk diri mereka sendiri".
Anda boleh lulusan kampus sekelas Harvard sekalipun. Tapi jika tidak mampu memaksimalkan kompetensi sesuai tuntutan pasar, lantas buat apa?
Kau boleh sekolah setinggi langit. Namun, jangan sekali-kali kau tuhankan ijazah.
Sebab, dunia hari ini berbeda. Dalam 5-10 tahun ke depan jutaan orang tidak memperoleh pekerjaan bukan karena tidak sekolah.
Mereka memiliki ijazah tetapi tidak memiliki kemampuan menciptakan value diri mereka. (*)
----------
P.S: Bersama manusia-manusia otak kanan yang sudah membakar ijazah. Among Kurnia Ebo (kanan) dan Asep Hermansah
Sumber: FB Anab Afifi
Post a Comment