90 Hari di Kantor PM
Hari pertama menjalani PPL-I di Balige terasa berat. Karena setelah tengah hari sepulang dari tempat magang, kami belum jua mendapatkan tempat kos.
Padahal waktu
magang masih panjang. Masih ada 89 hari lagi.
Maka di
bawah sinar mentari yang cerah. Kami melangkah kuyu menuju satu tempat makan
bernuansa Jawa: Sopo Nyono.
Rumah makan
ini berada persis di samping Kantor Sub Detasemen Polisi Militer-1/2-6 Balige. Di
Jalan Patuan Nagari No 01.
Ketika itu
saya bersama belasan rekan lain yang seangkatan.
Maka setelah
mengamankan urusan perut, beberapa dari kami nekat untuk masuk ke dalam kantor
PM itu.
Tujuannya
hanya satu: minta perlindungan (baca: minta kamar selama tiga bulan ke depan).
Kami diterima
oleh Siahaan. Ia merupakan pelajar dari Samosir. Bersekolah di Balige.
Siahaan sehari-harinya
menginap di kantor ini. Menjadi anak asuh pak tentara. Membantu menjaga
kebersihan kantor.
Lama kami
menunggu di lobi kantor. Hingga akhirnya datanglah seorang anggota PM dari
bagian dalam.
Beliaulah pak
Rahmad. Urang Sunda. Pangkatnya Sersan Kepala (Serka). Beristrikan seorang
perempuan dari Mandailing, yang bermarga Nasution.
Seperti kebanyakan
anggota PM yang lain, postur pak Rahmad tinggi besar. Putih, dan ganteng.
Tanpa basa-basi,
kami langsung ‘menodong’ pak Rahmad tentang tujuan kami.
“Memang ada
kamar kosong di barak ini. Tapi menurut saya nggak layak,” katanya sambil
mengajak kami masuk.
Kantor ini berlantaikan
papan. Dibuat seperti rumah panggung.
“Inilah
ruangan yang ada. Menurut saya kurang layak. Tapi tergantung adik-adik
sekalianlah,” kata pak Rahmad lagi.
Ada dua
kamar di hadapan kami. Tanpa kasur. Cuma ada satu meja kayu dan lemari.
Sementara satu
tempat tidur papan tersedia di beranda luar. Namun masih berada pada bagian
dalam ruangan, yang memiliki pintu.
Kalau melihat
kondisi kami yang berjumlah 12 orang. Dengan tiga di antaranya merupakan
mahasiswi. Maka kamar ini cocok sebagai tempat berteduh kami selama masa
Program Pelaksanaan Lapangan yang terintegrasi (PPL-I).
Kalaupun kondisinya
berantakan dan kotor, itu karena kamar ini dibiarkan kosong dan tidak terurus.
Maka dengan
beberapa kode dari tatapan mata, kami mengiyakan tawaran pak Rahmad. Daripada
harus keliling-keliling lagi untuk mencari rumah kos.
Meskipun kami
tidur berlantaikan papan. Namun dengan posisi kantor PM yang strategis. Apalagi
ada jaminan keamanan dan kemudahan mendapatkan akses makanan, menginap di sini
sangat pas.
Selain pak
Rahmad, di kantor itu juga menginap pak Supendi. Beliau berpangkat Sersan Satu
(Sertu).
Masih ada
dua personil lagi yang bertugas di kantor ini. Namun mereka tidak menginap di
barak. Dan hanya datang pada saat jam piket.
Balige sendiri
merupakan kota kecamatan di tepian danau Toba. Kota ini pula yang menjadi ibukota
kabupaten Toba Samosir.
Kota ini
sangat indah. Sejuk. Seperti kebanyakan kota dunia di tepian danau lainnya,
semisal Monaco, atau Montreux di tepian danau Jenewa, Swiss.
Mayoritas penduduk
Balige beragama Kristen. Namun saya suka sekali dengan sikap toleransinya.
Mereka akan
memberitahu kami mana yang boleh, dan yang tidak boleh di makan. Penduduk Balige
juga akan menjaga hewan piaraannya jika tamu yang berkunjung beragama Islam.
Mengenang masa-masa
itu, membuat saya ingin kembali mengunjungi Balige. Makan di RM Sopo Nyono. Dan
mengunjungi pantai Lumban Silintong.
Post a Comment