Mosi Tidak Percaya


Oleh: Randu

Kalau saya jadi presiden Jokowi, saya akan menseriusi Mosi Tidak Percaya yang sedang trending itu. Jangan tertipu oleh frasanya: Mosi Tidak Percaya meski terkesan ekspresi yang kiyut, imut dan tidak mengesankan revolusi apapun--tapi sesungguhnya itu bunyi alarm kebangkrutan legitimasi sebuah negara.

Pemerintah sebuah negara hanya bisa berjalan jika ada warga yang mempercayai mereka. Tanpa kepercayaan itu yang terjadi hanyalah pemaksaan dan penindasan juga -di sisi lainnya-- pengabaian dan perlawanan. Anda tidak bisa menegakkan otoritas dan menyelesaikan permasalahan apapun tanpa adanya kepercayaan publik--keyakinan orang-orang bahwa Anda sedang bekerja untuk kepentingan mereka.

Susahnya menangani pandemi di Indonesia misalnya, karena kurangnya kepercayaan publik kepada pemerintah. Memakai masker itu mudah tapi menyuruh orang lain-- yang tidak memercayai Anda-- melakukan hal yang sama itu sulit. 

Semakin sulit lagi karena publik melihat, alih-alih keseriusan dan komitmen untuk penanganan Covid-19, yang terjadi justru sebaliknya: politisasi kebijakan, komersialisasi rapid test, diskriminasi perlakuan, pilkada saat pandemi...

Itu menambah satu retakan lagi dalam bangunan kepercayaan publik yang memang sudah rapuh dalam lima tahun terakhir ini. Pemerintah mungkin menganggap ini hanya kerusakan sampingan dalam politik atau ketidak-percayaan segelintir orang yang anti-pemerintah. Jika melihat banyak postingan pendukung Jokowi yang mulai gerah dengan situasi ini, saya tida terlalu meyakini hal itu.

Orang Indonesia sebenarnya memiliki watak percaya dengan pemerintah. Tapi dengan mudah satu demi satu kepercayaan itu dikhianati. Saat ini, jika Anda bertanya kepada siapa saja di jalan tentang apa saja lembaga pemerintah yang masih mereka percaya, ada kemungkinan mereka tidak akan menyebut satupun. Mungkin tidak juga KPK. 

Saya kira Pak Jokowi harus membangun kembali kepercayaan publik di tengah puing-puing yang masih tersisa. Dan itu hanya bisa dilakukan dengan mulai mendengarkan aspirasi rakyat. Buka dialog yang jujur, libatkan semua elemen untuk membangun konsensus, jelaskan niat dan tujuan dari kebijakan, pikirkan dampaknya dalam semua spektrum pada jangka pendek, menengah, dan panjang.  

Beri waktu yang lama untuk menilai. Jangan ragu untuk mengoreksi dan menerbitkan Perppu jika memang perlu. Misalnya jika mempertimbangkan kerusakan  yang ditimbulkan UU Cipta Kerja bisa lebih besar dari manfaat menggairahkan investasi. Demo penolakan buruh akan semakin marak terjadi. Pengangguran di mana-mana. Kejahatan mungkin akan meningkat. 

Saya kira, tak ada investor yang tertarik dengan negara yang terus bergolak dengan situasi sosial-politik yang kacau.

Tentunya ini hanya bisa direnungi jika presiden mengambil jarak dari kepentingan tertentu, baik dari parpol, pebisnis, para broker asing, para pendengung, atau bahkan citra pribadi. Ambil keputusan terbaik hanya demi kebaikan dan kemajuan bangsa dan negara. Pak Jokowi tidak harus menjadi sekjen PBB untuk mendapatkan jarak yang tepat dari permasalahan-permasalahan negeri sendiri, kan?

No comments