Dusun Pandumaan
"Masjid ini dibangun atas bantuan seorang pengusaha," tutur seorang kerabat. Saya memanggilnya Lek Paino.
"Biaya pembangunannya lebih dari satu milyar. Selesai tahun 2004."
Lek Paino merupakan salah satu jamaah yang ikut program untuk merenovasi masjid. Saat itu ketika dikalkulasi, dibutuhkan dana sekira Rp200 juta untuk merenovasinya.
Kemudian menghadaplah Lek Paino dan panitia pembangunan kepada pengusaha keturunan India, yang kebun sawitnya terhampar ratusan hektar di daerah itu. Mereka memanggilnya Haji Pekir (Ejaannya belum tentu benar).
Alhamdulillah proposal itu disetujui.
Lalu berdirilah masjid dengan wajah yang baru. Anggun. Megah. Dengan material yang memang pilihan. Sehingga biaya pembangunannya meleset jauh dari estimasi awal.
Hadirnya Masjid Jami' Nurul Aisyah mengawali kemajuan di Dusun Pandumaan.
Dusun ini memang begitu bersejarah bagi keluarga kami.
Tepat di seberang jalan masjid, lokasi di mana sang fotografer mengambil gambar ini, dahulunya berdiri rumah kakek dan nenek buyut saya.
Rumahnya adem. Berdindingkan papan. Berlantaikan tanah. Beratapkan joglo. Dengan dimensi yang tak begitu besar untuk ukuran rumah di perkampungan.
Halaman rumah itu yang sangat luas. Bagian depannya tumbuh tanaman obat. Tanaman nanas subur berbaris mulai dari sudut depan, lalu ke samping rumah bagian kiri, hingga pekarangan belakang.
Kalau tiba waktu mudik, saya senang sekali melihat nanas-nanas itu mulai berbuah. Warna mahkotanya cantik kemerah-merahan.
Bagian samping halaman rumah, tumbuh pohon jambu air. Buahnya amat lebat. Yang saat kami datang ketika lebaran, pasti berbuah. Di sini biasanya kami duduk melepas kangen.
Kami menggelar tikar anyaman di atas tanah rumah yang berpasir. Kristal-kristal putih pasir itu berkilau saat disiram cahaya matahari.
Satu unit ayunan sengaja dirakit. Disangkutkan pada batang pohon jambu yang paling besar. Tempat kami para cucunya bermain. Saya masih SD ketika itu.
Sumur dan WC ada di halaman belakang. Terpisah dari dapur. Tradisional sekali.
Bagian belakangnya lagi terhampar kebun nenek. Dahulu ditanami pohon karet. Sebelum akhirnya punah karena lebih tergoda dengan hasil sawit.
Dusun Pandumaan dahulunya masih belum terlistriki. Maka lampu semprong yang jadi sumber penerangan. Sebenarnya lebih terang lampu petromax. Tapi harganya mahal.
Kalau lagi cerah, langit malam di luar rumah jauh lebih indah. Di sinilah tempat terbaik untuk menikmati cahaya bulan dan kelap-kelip bintang.
Kami sering di luar sambil menunggu waktu tidur. Saya duduk pada sebuah kursi rotan. Mengarahkan pandangan ke atas langit. Menikmati bintang-bintang bermain. Yang cahayanya kadang meloncat-loncat kegirangan.
Setelah kakek dan nenek buyut meninggal, rumah itu beralih kepemilikan karena tidak ada yang merawat. Menyisakan kebun yang masih produktif di bagian belakang
Sang pemilik baru merenovasi habis rumah itu. Menyesuaikan disainnya dengan wajah Dusun Pandumaan yang semakin maju.
Dengan menyisakan satu kontainer kenangan.
Post a Comment