Hari Kedua yang Mengubah Gaya Mengajar
Oleh: Suryaman Amipriono
Gaya saya mengajar berubah drastis setelah menjalani hari kedua di Auckland. Dan sudah menerapkannya hingga saat ini.
================================================================
Deru mesin helikopter rumah sakit memecah hening pagi itu. Putaran baling-balingnya merobek langit fajar Auckland. Yang ternyata sudah masuk subuh. Ini hari yang kedua.
Saya memulai pagi dengan menyeduh teh. Dan mengiris sebuah Kiwi. Yang saya beli dari Countdown. Senin sore.
Giliran Dody yang memasak hari ini. Berasal dari Semarang, beliau ini sangat Jawa sekali. Medhok. Saya dipanggilnya 'Njenengan' saat seleksi, Mei 2017 yang lalu. Mungkin dikiranya saya (Jawa) asli. Ternyata kawe. Pujakesuma. Putera Jawa kelahiran Sumatera.
Kami berniat berangkat lebih cepat pagi ini. Karena Lester, sudah tak lagi menjemput. Pukul 07.45. Empire mulai bergeliat. Penghuni apartemen bersiap akan melaksanakan aktifitasnya. Kuliah.
Dua lift di gedung Timur naik turun. Silih berganti. Bangku sepanjang 4 meter terletak di depannya. Buat duduk para pengantri. Saat menunggu lift itu kadang kami gunakan untuk melihat keseharian mereka. Gayanya. Pakaiannya. Seberapa banyak buku yang dibawa. Dan ini: Menerka mereka, sudah mandi atau belum.
Bukan rahasia lagi sepertinya. Kalau penduduk keturunan Eropa itu dikenal jarang mandi. Bukan jorok. Tapi karena pengaruh cuacanya. Dingin. Adegan di film mencerminkan itu. Begitu mereka bangun tidur, lalu menyikat gigi, kemudian berpakaian, langsung cussss. Pergi kerja.
Di Auckland, kami dididik untuk banyak berjalan. Mulai dari apartemen ke AUT. Lalu AUT ke Countdown. Atau rute lain. Selama masih sanggup. Sanggup untuk berjalan. Walaupun kontur jalannya tidak rata. Turunannya yang lumayan curam. Dan tanjakannya yang sedikit tajam.
Di AUT, kami sudah harus terbiasa dengan penyebutan WT. Atau WF. Ruang kelas, yang dibedakan penamaannya berdasarkan gedung. Dan tingkatan lantainya.
Melayani dan Dilayani
Adrian terlihat begitu sibuk. Dia penceramah kami pagi ini. Berkemeja lengan panjang dengan dasi, ia membawa tumpukan karton. Yang terdiri dari beberapa warna. Sekira satu meter tingginya.
Sambil tergopoh-gopoh. Ia menyapa kami di depan lift. Kebetulan ketemu. Saya dan beberapa teman menawarkan bantuan untuk mengangkat kotak-kotak itu. Diserahkan beberapa.
Ivan Andriyana yang mengambil. Kebetulan. Guru Desain Komunikasi Visual dari Pontianak ini yang paling dekat posisi berdirinya dengan Adrian. Tapi tidak semua. Melainkan sebagian kecil. Doktor plontos itu tetap yang paling banyak mengangkat tumpukan karton.
Saya salut dengan sikapnya yang tidak mau dilayani. Malah cenderung untuk melayani. Terlepas dari status kami sebagai tamu internasional. Satu dari sekian banyak inspirasi Auckland, saya dapat pagi itu. Dari Adrian.
Peran guru sebagai pelayan bagi siswanya memang belum terpatri dalam. Saya jadi teringat ketika masa menjadi siswa dulu.
Sering kali kami dimintai bantuan oleh guru untuk mengambilkan sesuatu. Misalnya bola ketika pelajaran Pendidikan Jasmani (Penjas). Atau diperintahkan untuk meminjam globe (miniatur bola dunia) dari ruang praktik oleh guru IPA.
Kebiasaan guru yang meminta bantuan tenaga kepada siswanya jelas bukan sebuah masalah yang besar. Sangat wajar sekali. Tidak ada yang dirugikan. Apalagi yang merugikan.
Toh sebagai siswa, kami merasa senang mendapat perintah seperti itu. Artinya, guru itu masih memberi perhatian. Lama-kelamaan juga akan kenal. Dikenal karena baiknya. Sambil berharap bisa mendapat nilai. Yang baik juga.
Kebiasaan itu pula yang akhirnya saya contoh ketika menjadi guru. Cenderung ingin dilayani oleh siswa.
Namun perlahan. Paradigma itu saya rubah.
Saya mulai mengangkat sendiri proyektor dari ruang aset ke ruang praktik. Lengkap dengan layar putihnya. Atau mulai mengelap alat praktik. Memanaskan sepeda motor aset. Merapikan alat peraga sebelum kelas dimulai. Sendiri. Dari yang biasanya, selalu mengandalkan siswa.
Perubahan yang kelihatannya simpel. Namun saya yakin berdampak positif terhadap kondisi pembelajaran.
Post a Comment