Pedagang Lintas Negara di Masjid Al Muttaqin Singapura
Oleh: Suryaman Amipriono
Keterlibatan kapal MV Swift Rescue dalam tragedi Nanggala 402 membuat saya teringat Singapura.Lalu teringat dengan
maskapai Singapore Airlines. Dengan armada kebanggaan berkapasitas angkut 600
penumpang: Airbus A380. Yang membawa kami terbang non-stop selama 12 jam dari
Auckland ke Changi, pada November tahun 2017 lalu.
Saya kemudian jadi teringat
ini: Solat Jumat di Masjid Al Muttaqin. Ketika menjalani masa pelatihan dari Kementerian
Perindustrian selama dua pekan, pada penghujung tahun 2018 silam di Singapura.
Untuk melaksanakan solat
Jumat, kami dijemput oleh satu unit minibus yang direkondisi dari kampus
Institute Technical of Education (ITE). Menyusuri jalan Ang Mo Kio. Dan melewati
pintu kampus Univesitas Teknologi Nanyang yang terkenal itu.
Tidak ada perbedaan yang
mencolok saat melaksanakan solat Jumat pada masjid di Singapura ini. Seperti solat
di kampung sendiri.
Tidak seperti ketika
melaksanakan solat Jumat di Auckland, New Zealand (Baca suryaman.id edisi:
Pengalaman Solat Jumat di Negara yang 40% Penduduknya Atheis). Yang jamaahnya dibagi
atas tiga gelombang. Karena masjidnya over kapasitas.
Memasuki kawasan masjid,
jamaah sudah ramai. Layar LCD disediakan pada titik-titik yang jamaahnya tidak bisa
melihat khatib langsung ketika berdiri di mimbar.
Jamaah yang akan berwudhu
berbaris rapi. Lantai menuju toilet dan tempat wudhu dilapis karpet karet,
dibantu dengan embusan angin dari kipas agar lantai tidak licin.
Kran wudhu yang digunakan
sama dengan kran yang ada di Masjid Sultan. Masjid yang dekat dengan Village
Bugis Hotel. Tempat kami menginap selama dua pekan.
Kran ini umumnya berbeda
dari yang digunakan di masjid-masjid di kota Medan.
Krannya terbuat dari
sejenis akrilik transparan. Bagian mulutnya diberi penutup dan dibuat banyak lubang. Membuat air yang keluar berupa percikan kecil. Sehingga menjadikannya hemat air.
Jamaah yang sudah tua,
mengambil barisan agak ke belakang. Mereka duduk berbaris pada kursi tanpa
sandaran yang telah disediakan.
Karena masih satu rumpun,
khutbah Jumat disampaikan dalam Bahasa Melayu. Sebagian Jemaah ada yang lebih
memilih memainkan gawainya.
Selesai solat, pihak BKM membagikan
air mineral kemasan pada jamaah di pintu keluar. Karena cuaca memang panas,
saya mengambilnya satu botol. Begitu dibaca, eh, air kemasannya diimpor dari
New Zealand.
Keluar pagar masjid,
rekan satu rombongan berkerumun di depan penjaja makanan. Pedagangnya seorang ibu-ibu. Hampir
paruh baya. Saya melihat bakwan dan mi di dalam keranjang dagangannya.
Ternyata beliau ini berasal
dari Batam, Indonesia. Menurutnya, setiap hari dia melintas perbatasan
Indonesia-Singapura untuk berjualan. Mencari nafkah dengan modal rupiah. Kemudian
dijual untuk mendapat Dollar.
Benar-benar perjuangan
yang luar biasa.
Post a Comment