El Classico di Amir Hamzah (1)
Anda pasti sudah hafal El
Clasico. Pertandingan antara dua musuh abadi yang terjadi di Spanyol: Real
Madrid versus Barcelona. Namun rupanya, El Clasico itu juga pernah digelar di
Medan. Tepatnya pada tahun 1997 silam. Seperti apa serunya pertandingan yang
mengguncang seisi jagad Tanah Deli ini? Dengan dibumbui dramatisir tingkat
dewa, berikut ceritanya.
Seisi sekolah tahu, bahwa kamilah
the next dream team. Sehingga selalu saja ada tantangan untuk bertanding. Setiap
tim di SMUN 7 Medan, bernafsu besar untuk melumat tim kami, yang memang diisi
talenta terbaik tingkat tinggi. Termasuk tim yang kami anggap musuh bebuyutan,
tetangga dan jiran, tim kelas I-6.
Mereka ini selalu mengaku yang
terbaik. Hingga suatu saat, mengajak duel diatas lapangan rumput. Mendapat tawaran
tersebut, juru runding (bukan juru parkir ya) Aber Nazaruddin berkoordinasi
dengan manajer tim. Dengan sedikit perdebatan, akhirnya tawaran itu kami terima,
dengan pertimbangan untuk memberikan jam terbang kepada pemain muda. Dengan wajah penuh optimis akhirnya ditentukan
hari dan tempat terlaksananya laga, yaitu sepulang sekolah di lapangan Amir
Hamzah.
Seluruh skuat hadir dengan
membawa peralatan seadanya, beberapa jam sebelum kick of. Saya sebagai manajer
interim, merangkap pemain dan pelatih, diinstruksikan oleh pemain senior untuk
meracik strategi yang sesuai. Strategi ini diharap mampu meredam keberingasan
tim tetangga. Mereka dikenal tim superior di zamannya. Kedahsyatan permainan
mereka pun sudah sekelas dengan PSSI Primavera. Paling tidak itulah gambaran
kekuatan yang sampai ditelinga.
Siapa yang tidak ngeri mendengar
nama Doan Jaya Satria, striker jangkung berkewarganegaraan Indonesia ini
disebut-sebut sebagai the next Marco Van Basten. Dia tenang, namun mematikan
dikotak penalti lawan. Siapa pula yang tidak gemetar mendengar nama Fachrizal Akbar,
kekuatan fisik dan kepemimpinannya dilapangan, sering digadang-gadang
menyerupai kehebatan Hulk, eh, Didier Deschamps.
Belum lagi nama-nama beken lain semisal
Antonius Panjaitan, pemain jebolan SSB Barakuda ini, memiliki kecepatan. Gerakan
tanpa bolanya selalu mengecoh lawan. Ada juga Gema, Ismail, dan pemain top lain
yang memiliki harga mahal dibursa transfer.
Meski begitu, kami tetap tak mau
kalah. Berbekal referensi, saya yang belum memiliki lisensi melatih resmi, mulai
memeras otak, merancang formasi dan strategi. Mulai dari formasi biasa, hingga
formasi grendel ala catenaccio-nya Trappatoni.
Jangkar lini tengah, Faisal Dasraf
berujar, “menyerang adalah pertahanan terbaik.” Itu yang membuat saya memilih formasi
inti 4-4-2. Memasang 4 pemain sejajar sebagai juru masak, weleh, maksudnya full
back flat ala tim St. George Cross. Yang dipadupadankan dengan 4 gelandang
pekerja keras, dan 2 orang striker petarung.
Formasi ini fleksibel, bisa beralih
ke 3-5-2, ala tim panser Jerman (katanya sekarang jadi tim tank leopard,
hehehe). Skuad kami terbilang mumpuni. Dibawah mistar ada Erick gunawan. Kiper dengan bentangan tangan melebar, mampu
menjangkau hingga kesudut-sudut gawang. Saya yakin, tim lawan akan frustasi
dibuatnya.
Pada barisan belakang ada M Syahrizal.
Pemain kekar yang mengingatkan kita pada sosok Edgar Davids. Duetnya bersama
Hendra Maulana diyakini menjadi salah satu yang terbaik di Medan Timur. Untuk
bek sayap, ditempati pemain mungil nan lincah, Aber dan Anca. Mereka ini cukup
cepat. Determinasi tinggi diharapkan menjadi senjata utama untuk melakukan counter dan merobek pertahan
lawan dari sayap.
Beralih ke tengah. Disana ada
kwartet gelandang pekerja, berkarakter keras, dan tidak kenal kompromi dalam
mengawal sejengkal pun wilayah permainan. Siapa yang tidak kenal M. Guntur,
pemain didikan PSMS junior ini, nyaris saja dikontrak tim asal Inggris Man Utd.
Visi bermain dan intelegensia yang tinggi menjadi modal awal dan keunggulan
permainannya. Tak heran, Alex Ferguson, yang belum mendapatkan gelar SIR pada
waktu itu, kesengsem dan ingin menduetkannya dengan Juan Sebastian Veron,
pemain idolanya. Sayang, Guntur kalah ketika seleksi tinggi badan.
Disana juga ada Zulkifli, tandem
Guntur . Di sisi kanan dalam ada nama Rendra Kharisma. Penulis serba bisa yang
nyambi jadi sutradara. Sementara disisi kiri ditempati Endi Mulia Purba Lubis. Pemain
skill full, bertalenta, juga jenius. Olah bolanya sangat mirip dengan Zinedine
Zidane. Umpan kedut dan terobosannya sangat sulit diterka (maksudnya, ngoper bola
nggak pernah nyampek sama kawannya). Bola seolah-olah sangat betah dikakinya.
Untuk pasukan pemukul, saya
percayakan pada duet Ferry – Rani. Ferry dipercaya mewarisi bakat idolanya Mike
Tyson (Loh, ini kan petinju). Salah deng, maksudnya Andrey Shevchenko.
Sementara Rani , striker tunggal yang gaya mainnya identik dengan Filippo Inzaghi,
peraih emas kejuaraan dunia gulat (hehehehe, ngaco).
Akhirnya, detik-detik kick of pun
hampir tiba. (Bersambung)
Post a Comment