Kritis di Hari Lahir (1)

Seharusnya hari itu Dodi bahagia. Dokter mengizinkannya pulang, tepat di hari ulang tahunnya. Namun kehendak berkata lain. Mendadak ia kritis, beberapa menit setelah dinyatakan chek out. Detik-detik menegangkan itu, akan terurai pada cerita berikut.

Sedari pagi saya sms-an dengan mamak. Memastikan kondisi Dodi aman, tak mengkhawatirkan. Sesak nafas yang menyerang sejak senin malam, membuatnya harus masuk (lagi) ke ruang perawatan. Entah untuk yang keberapa kali. Saya sendiri tak ingat.

"Kata dokter Dodi udah bisa pulang Man. Jam berapa bisa dijemput?" Demikian sms mamak pada saya, Rabu (1/10/2014) sesaat selesai tugas.

"Jam 3 awak nyampek rumah mak. Langsung tak jemput. Tunggu ya," balas saya meyakinkan mamak. Tugas baru saja diselesaikan siang itu. Tanpa jeda, saya langsung meluncur ke Medan, dari Binjai.

Sesampai di rumah jam 3 lewat, hp berulang kali dering. Mamak yang nelpon. Panggilan pertama tak terangkat. Lalu saya telpon balik. Tapi tak bisa. Sinyalnya sibuk.

Beberapa saat kemudian panggilan tersambung. Suara mamak yang kecil seperti ingin mengabarkan sesuatu yang penting. Terdengar seperti tergopoh-gopoh, mamak meminta saya untuk cepat ke Adam Malik, rumah sakit umum milik kementerian kesehatan.

Bbm Fika berulang kali 'ngeping' ketika saya akan bergegas. Ditambah telpon Wak Garto yang saat itu tengah berada di kampung, Rantau Prapat. Mereka minta saya untuk cepat bergerak. "Mamak kebingungan sendiri, cepet ke rumah sakit ya," kata Wak Garto.

Di jalan saya heran: "Kenapa untuk jemput harus serba terburu-buru begini?" Bukannya izin pulang dari dokter mengindikasikan kesehatannya sudah stabil?", gumam saya dalam hati.

Penasaran, saya kembali telpon mamak. "Hallo, udah dimana?, cetus suara pria di ujung telpon. "Di ringroad pak," jawab saya gugup. Heran kenapa bukan mamak yang menjawab. "Cepat ya, mamakmu udah kebingungan nih," pinta pria itu kembali. Merasa ada yang tak beres, saya langsung tancap gas.

Paru-paru Terendam Setelah Minum Seukuran Aqua Kecil

Hujan begitu deras saat saya tiba di parkiran RSU Adam Malik. Geludug pun bersahut-sahutan. Terkadang panjang, namun tak jarang pendek. Sementara angin kencang turut membumbui derasnya hujan sore itu. Cuaca yang seolah tak bersahabat makin membuat saya tak enak pikiran. Seolah ingin cepat sampai di ruangan.

Beberapa meter jelang pintu masuk ruang rawatnya Dodi, orang begitu ramai. Ada beberapa suster di sana, juga dokter co-ass. Sementara keluarga pasien dari ruangan lain juga mendekat. Saya jadi semakin cemas.

"Dodi gak tahan bang. Jagain mamak ya," ucap Dodi terbata-bata sembari menangis sesaat saya tiba. Dengan nafas berat dan tersengal-sengal, Dodi berusaha menyambut. Kedua tangannya menyentuh wajah saya. Membelai dan mengusap seperti membasuh muka saat wuduk.

Hanya dua kata itu yang diucapkan. Selebihnya, Dodi berjuang merebut setiap miligram oksigen melalui hidungnya.

"Nggak boleh gitu Dod. Semangat. Dodi pasti sembuh," kata saya lirih. Tak terasa air mata ini jatuh. Sedih melihat Dodi yang tengah berjuang. Pikiran pun jauh melayang. Mencoba tegar menghadapi kondisi terburuk.

"Biar Allah beri yang terbaik buat dia," kata seorang pria di belakang Dodi. Pak Doni namanya. Pria yang suaranya ada di telpon tadi, mungkin coba menghibur saya. Dia pula yang sedari tadi kesana-kemari membantu mamak.

Posisi Dodi saat itu duduk sedikit berbaring di kursi plastik. Di samping tempat tidurnya. Sementara kedua kakinya, bertumpu pada kursi yang lain. Masker plastik transparan menutupi mulut dan hidungnya. Memastikan pasokan oksigen cukup masuk ke paru-parunya itu.

Sementara itu, orang-orang masih saja berkerumun. Padahal suster dan dokter sudah menghimbau untuk menjauh. Ini untuk memberi keleluasaan pada Dodi. Sambil menyeka keringat yang terus mengucur mamak berujar kepada saya. "Bisikin adiknya Man (kalimat Tauhid)."

Ada seorang dokter co-ass yang sedari tadi memantau Dodi. Dokter muda itu menjadi sasaran kekesalan mamak. "Cemmananya kelen, anakku udah hampir 2 jam kayak gini," teriak mamak sembari menangis. Dodi masih semaput dengan sesaknya. Keringatnya semakin deras. Baju 'paris van java' yang dikenakan itupun kuyup.

"Dodi sudah close berkasnya buk, sehingga harus regristrasi ulang untuk diambil tindakan. Kami sedang proses itu," kata dokter co-ass itu.

"Saya pun sengaja stanby di sini memantau, dan berkomunikasi dengan dokter spesialisnya untuk tindakan medis," kata dokter muda itu lagi. Sore itu memang pergantian shift jaga. Saya juga memaklumi kondisi itu. Semua tindakan harus dilakukan sesuai prosedur. Apalagi ini menyangkut nyawa manusia.

Bersambung


No comments