Pengorbanan Berlipat Demi Pangkat

"Ihh...keretaku mana." Ringisan Emi sontak membuat suasana siang itu mencekam. Sambil sesunggukan, dia berlari. Menoleh kiri kanan mencari kereta kesayangan.

Diterpa rasa bingung, takut, dan khawatir, Helmi Agustina Hasibuan mengambil ponsel. Mencari rasa tenang dengan menghubungi suami. Dalam sedih ia menangis. Mengabarkan belahan jiwa, bahwa kereta telah tiada.
Sekolah masih libur Rabu, 16/7/2014 itu. Sehingga kondisinya sepi. Hanya ada beberapa petugas piket administrasi yang datang. Bersama beberapa fungsionaris lainnya, mereka berada di gedung utama. Hanya hitungan meter dengan tempat kami berada, Lab TKJ.
Kami, mewakili rekan yang 11 orang, sebenarnya lebih senang berada di rumah. Atau di kampung, seperi teman lain. Maklum, ini musim libur. Apalagi puasa. Namun perjuangan untuk naik pangkat, membuat kami harus betah. Berlama-lama di sekolah. Berkutat dengan berkas, stempel, dan tanda tangan.
Ini kali pertama kami naik pangkat. Dengan pengorbanan berlipat. Tidak hanya waktu, namun juga tenaga dan biaya.
Sejak diusulkan April silam, berkas kami seolah akrab dengan penolakan. Rupanya, mulai tahun ini, kenaikan pangkat harus menyesuaikan dengan aturan baru. Celakanya, aturan itu belum rata tersosialisasi. Sehingga kami, yang berkepentingan, pontang-panting kesana kemari.
Hari itu, kami lengkapi berkas untuk kesekian kali. Lab TKJ yang panas (meskipun AC-nya 2) berangsur sejuk. Kerjaan ruwet membuat hati kami tetap tenang. Deadline tak membuat kami patah arang. Tetap semangat.
Berkas ini tetap harus dikirim. Apapun ceritanya. Ini pula yang membuat Kak Tina menyudahi libur panjangnya. Tak tenang memikirkan berkas, ia meluncur janda (jalan darat) dari Jambi. Lain hal nya dengan Herniyanti. Meski hamil muda, demi cita-cita, tumpukan kertas dilibasnya.
Solidaritas teman tetap kami jaga. Meskipun urusan pribadi, berkas teman yang sudah pulang kampung tetap kami tanggung: Adrizal dan Miko. Keduanya memang bocah perantauan.
Sementara teman lain juga demikian. Bang Muslim meluncur cepat. Dari Stabat. Dia ini pemimpin rombongan kami. Sikap 'temuwo' (yang dituakan) membuatnya bijak. Juga adil. Lain halnya dengan Mangatur. Dia nampak kusam siang itu. Mukanya kusut. Wajahnya cemberut. Namun semangatnya tak pernah surut. 
Selain Pak Edi, ada bang Adi yang menemani kami. Beliau Ka. Lab TKJ, yang seangkatan. Meski berkasnya sudah rampung, namun dia setia menunggu. Dia pula yang siang itu mondar-mandir sambil sesekali memperhatikan posisi parkir kereta.
Siang menjelang jam 12 saat bang Dumpang mengajak Mangatur melayat. Beberapa hari sebelumnya, orang tua salah satu rekan guru meninggal dunia. Bersama pak Bangun, Kajur TKR, mereka berencana bareng.
Hitungan detik setelah pamit, Mangatur kembali masuk ruangan. Wajah kusutnya makin terlihat kumal. Saya yang biasa becanda dengannya ingin segera menghardik. Namun, rupanya ada yang serius yang ingin disampaikan.
"Ada nampak abang anak-anak yang mainin keretaku?. Gak bisa masuk kunci keretanya ni", keluh Mangatur pada kami yang ada di ruangan. Tanpa dikomando, kami menjawab "tidak" dan keluar melihat ke arah parkir. Rupanya memang kuncinya 'dol.'
Keanehan lain muncul, kereta yang sebelumnya dikunci stang sudah tak lagi demikian.
Siang itu makin histeris tatkala Emi ikutan keluar. Dalam hitungan detik, celingukan matanya tak melihat Vega R tahun 2000an miliknya. Sontak, Emi, yang terkenal dengan lengkingan suaranya, berteriak histeris.
"Keretaku mana?. Keretaku kok nggak ada." Kami yang juga ikut panik menyasar kemana-mana. Berharap ada seseorang iseng, yang bercanda menyembunyikan Vega itu. Namun sepertinya itu mustahil. 
Bersama pak Bangun, bang Adi berinisiatif ke bengkel Pak Kusdi. Di bengkel itu, kami berharap beliau punya informasi tentang keretanya Emi.
Suasana makin mencekam. Lelah dibalut rasa kecewa muncul. Berkas kami biarkan berserak di ruangan. Ada Herniyanti di sana. Guru Penjas itu tak berani meninggalkan ruangan yang penuh aset.
Ternyata yang diharap tak jua datang. Sedari tadi, Pak Kusdi asyik bekerja di bengkel. Hingga tak memperhatikan orang asing yang sliweran. Dibalut rasa bingung, kami kesana kemari mencari informasi.
Sementara Mangatur, terlihat pusing memikirkan nasib kunci Mega Pro nya. Sudah terbayang, duit ratusan ribu bakal terbang, melayang. Meskipun tersirat rasa syukur melihat tunggangan tetap dalam genggaman.
Jelang setengah jam tanpa kejelasan, Emi membuat laporan Polisi. Meskipun tak berharap banyak, minimal ada usaha mencari keretanya. Saat itu pula, pimpinan sekolah hadir. Beberapa jam sebelumnya, Pak Amri memang sengaja saya telepon, untuk menandatangani sisa berkas yang kurang.
Mengetahui satu kereta hilang, dan satunya lagi nyaris raib, Pak Amri kecewa. Dalam kondisi libur ini, memang tak ada yang dapat disalahkan. Kecuali pengawasan dari diri sendiri.
Perjuangan pangkat ini terlihat makin berat dengan pengorbanan berlipat. Tanpa jaminan, berkas dinyatakan memenuhi syarat. Pelajaran mahal mengambil tumbal. Meski tak rela, namun harus ikhlas. Mudah-mudahan diberi kemudahan di esok hari. Tetap semangat ya kawan-kawan.


No comments