Sarapan Pagi Guru Matematika

Entah mimpi apa saya semalam. Suasana kerja di pagi yang sejuk itu mendadak gerah. Padahal cuacanya sejuk, sendu mendayu-dayu.
Rabu itu merupakan hari kedua, dari tiga hari dinas luar saya dan beberapa rekan. Kebetulan memang ada jam wajib di kelas. Namun karena dinas luar, biasanya ada dispensasi. Digantikan piket. Sehingga saya sempatkan untuk mengantar berkas yang belum rampung sejak minggu lalu.
Jaket belum lagi terlepas sempurna saat suara yang tak asing itu melengking. "Abang dari mana tadi, kok lama kali."
"Stabat," jawab saya enteng, tanpa melihat wajah yang bertanya. Sementara jaket sudah terlepas, namun tas dan helm belum di letakkan pada posisinya
"Ikh. Enak kali abang. Di mana tanggung jawab abang sama kerjaan," sambut suara itu bertubi-tubi. Kali ini sepertinya serius. Karena intonasi meninggi, dengan penekanan suara yang cukup keras.
Karena seperti sedang ditodong senjata, saya terpaksa berbalik badan. Menghadap langsung ke wajah yang bertanya tadi. Meskipun suaranya sudah saya kenal, tapi tetap saja saya harus melihat mimik mukanya. Untuk melihat sejauh mana efek merusak akibat jawaban enteng saya tadi.
Ternyata guru matematika,  teman saya itu sedang serius marahnya. Tidak main-main. Sambil menatap tajam, ribuan kata susulan langsung meluncur deras dari bibir mungilnya, yang kali ini tanpa lipstik itu.
"Kita kan masuk Bimtek (Bimbingan Teknis) jam 8. Kenapa abang nggak ke sekolah dulu ngamankan kelas," kata guru matematika, wanita, dan masih muda itu kembali.
Saya hanya bisa bengong. Sambil sesekali menelan ludah dan menggaruk kepala yang tak gatal itu. Sementara alur pikiran saya masih standby. Seperti sedang loading mencari alasan yang tepat. Karena kalau sampai salah jawab, bisa habis saya dilumat.
"Aku aja yang piket sempet-sempeti tadi datang ke sekolah. Ini abang, yang ada les nya (jam mengajar) 6 jam, tega kali gak dateng. Dimana tanggungjawab abang," kata Ibu itu lagi. Kali ini bukannya berapi-api. Tapi berkobar. Menenggelamkan riuhan suara ratusan peserta bimtek lain di ruang aula itu.
Sontak saja, rentetan pertanyaan melengking yang menginterogasi itu membuat pandangan sebagian peserta bimtek mengarah ke saya.
"Loh, kita kan dinas luar. Ada dispensasi untuk ke kelas. Lagian kan ada guru piket yang menggantikan," sanggah saya halus, mencoba santun. Juga dengan mimik muka yang melas. Dan belagak lugu. Maksudnya untuk menurunkan tensi ibu tadi.
Tapi ternyata saya salah. Pasang muka lugu malah membuat selera marahnya meledak. Wajah saya mungkin seperti lontong (menu sarapan pagi) saja dibuatnya. Dengan cepat disantap.
"Mana ada kayak gitu. Disempeti ke kelas lakh. Amankan kelas, biar muridnya nggak berkeliaran," sambutnya doyan. Marahnya nambah. Kalap, seperti orang yang tak kena nasi tiga hari.
Teman di sebelah saya yang tambun itu hanya bisa cengengesan. Mungkin dia senang saya dapat bagian. Karena selama ini, dia bukan hanya disantap oleh sang guru matematika itu. Melainkan sudah seperti kain cucian saja. Dikucek, dibilas, dan diperas.
Sebenarnya maksud Ibu itu baik. Saya salut dengan penegakan disiplinnya yang tanpa pandang bulu itu. Namun ya mbok jangan di depan orang banyak. Kan jadi tahu mereka kalok Ibu itu ceriwis. Hihihihi....
Guru matematika (yang ceriwis) itu adalah Helmi Agustina Hasibuan. Dan teman tambun (yang seperti kain) tadi adalah Mangatur Hendra Parulian Simanjuntak. Mereka ini teman saya yang baik hatinya.
Akh.....benar-benar pagi yang mendebarkan.


No comments