Sarapan Pagi Guru Matematika
Entah mimpi
apa saya semalam. Suasana kerja di pagi yang sejuk itu mendadak gerah. Padahal
cuacanya sejuk, sendu mendayu-dayu.
Jaket belum
lagi terlepas sempurna saat suara yang tak asing itu melengking. "Abang
dari mana tadi, kok lama kali."
"Stabat,"
jawab saya enteng, tanpa melihat wajah yang bertanya. Sementara jaket sudah
terlepas, namun tas dan helm belum di letakkan pada posisinya
"Ikh.
Enak kali abang. Di mana tanggung jawab abang sama kerjaan," sambut suara
itu bertubi-tubi. Kali ini sepertinya serius. Karena intonasi meninggi, dengan
penekanan suara yang cukup keras.
Karena
seperti sedang ditodong senjata, saya terpaksa berbalik badan. Menghadap
langsung ke wajah yang bertanya tadi. Meskipun suaranya sudah saya kenal, tapi
tetap saja saya harus melihat mimik mukanya. Untuk melihat sejauh mana efek
merusak akibat jawaban enteng saya tadi.
Ternyata guru
matematika, teman saya itu sedang serius
marahnya. Tidak main-main. Sambil menatap tajam, ribuan kata susulan langsung
meluncur deras dari bibir mungilnya, yang kali ini tanpa lipstik itu.
"Kita
kan masuk Bimtek (Bimbingan Teknis) jam 8. Kenapa abang nggak ke sekolah dulu
ngamankan kelas," kata guru matematika, wanita, dan masih muda itu
kembali.
Saya hanya
bisa bengong. Sambil sesekali menelan ludah dan menggaruk kepala yang tak gatal
itu. Sementara alur pikiran saya masih standby. Seperti sedang loading mencari
alasan yang tepat. Karena kalau sampai salah jawab, bisa habis saya dilumat.
"Aku aja
yang piket sempet-sempeti tadi datang ke sekolah. Ini abang, yang ada les nya
(jam mengajar) 6 jam, tega kali gak dateng. Dimana tanggungjawab abang,"
kata Ibu itu lagi. Kali ini bukannya berapi-api. Tapi berkobar. Menenggelamkan
riuhan suara ratusan peserta bimtek lain di ruang aula itu.
Sontak saja,
rentetan pertanyaan melengking yang menginterogasi itu membuat pandangan
sebagian peserta bimtek mengarah ke saya.
"Loh,
kita kan dinas luar. Ada dispensasi untuk ke kelas. Lagian kan ada guru piket
yang menggantikan," sanggah saya halus, mencoba santun. Juga dengan mimik
muka yang melas. Dan belagak lugu. Maksudnya untuk menurunkan tensi ibu tadi.
Tapi ternyata
saya salah. Pasang muka lugu malah membuat selera marahnya meledak. Wajah saya
mungkin seperti lontong (menu sarapan pagi) saja dibuatnya. Dengan cepat
disantap.
"Mana
ada kayak gitu. Disempeti ke kelas lakh. Amankan kelas, biar muridnya nggak
berkeliaran," sambutnya doyan. Marahnya nambah. Kalap, seperti orang yang
tak kena nasi tiga hari.
Teman di
sebelah saya yang tambun itu hanya bisa cengengesan. Mungkin dia senang saya
dapat bagian. Karena selama ini, dia bukan hanya disantap oleh sang guru
matematika itu. Melainkan sudah seperti kain cucian saja. Dikucek, dibilas, dan
diperas.
Sebenarnya
maksud Ibu itu baik. Saya salut dengan penegakan disiplinnya yang tanpa pandang
bulu itu. Namun ya mbok jangan di depan orang banyak. Kan jadi tahu mereka
kalok Ibu itu ceriwis. Hihihihi....
Guru
matematika (yang ceriwis) itu adalah Helmi Agustina Hasibuan. Dan teman tambun
(yang seperti kain) tadi adalah Mangatur Hendra Parulian Simanjuntak. Mereka
ini teman saya yang baik hatinya.
Akh.....benar-benar
pagi yang mendebarkan.
Post a Comment