Tiga Kali Nol Milimeter Dekat Abah (1)
Hingga
detik ini rasanya kok masih belum percaya, bisa ketemu, foto bareng, dan bahkan peluk Abah. Namun foto-foto yang udah
kadung di upload dan dikomen banyak temen di sosial media jadi pembisik bahwa
itu semua nyata. Bukan khayalan. Apalagi mimpi.
Memang,
sejak pertama kali kulihat Abah di Kick Andy-nya Metro TV, sosoknya seolah-olah
jadi sumber inspirasi bagi siapapun, termasuk aku. Gaya bahasanya renyah. Mimik
mukanya tulus. Tingkah polahnya lain dari yang lain.
Saat
itu, di tahun 2011, aku belum tahu mendalam siapa Abah. Namun, aku jadi segera
tahu siapa Abah. Profilnya selalu aku googling setiap kali pc ini terhubung
dengan internet. Semua artikel, berita, sepak terjang, prestasi, gebrakan, gaya
kepemimpinan Abah, tak luput dari penyisiran mesin pencarinya Google. Tak butuh
waktu lama untuk membuat aku yakin siapa Abah. Hingga rasa alamiah ini tumbuh
dan terus tumbuh. Ingin jumpa idola, sang inspirasi sumber motivasi.
Tak
gampang memang mewujudkan keinginan itu, kalau tidak ingin dibilang mustahil.
Pasalnya apa? Hubungan jelas tidak ada. Jarak juga terpisah jauh. Ribuan
Kilometer. Bahkan kalau misalnya saat Abah berkunjung ke Medan (daerah asalku)
pun tetep terpisah puluhan kilometer. Sulit. Tetep sulit. Kecuali dapet rejeki
nomplok. Atau ibarat ketiban durian runtuh. Duriannya pun tidak boleh
sembarangan, harus durian Medan. Inti targetnya hanya satu, memperkecil jarak
ribuan kilometer itu menjadi hanya beberapa meter, bila memungkinkan beberapa
millimeter.
Jam
menunjukkan pukul 09.39 pagi ketika SMS Ferry Sumarlen mengajakku untuk bertemu
Abah. Temanku yang satu ini memang yang paling getol memperjuangkan,
memfasilitasi agar aku bisa bertemu tokoh idola. Maklum, sebagai mantan awak
JPNN dia paham betul gerak-gerik Abah. Dengan koneksi dan jaringan yang
tersebar, dia mengerti betul dimana Abah. Dan sebagai temen sekelas ketika di
SMA dulu dia juga paham betul bahwa Abah sumber motivasi dan inspirasiku.
Hari
itu, Selasa, jadwal yang cukup padat sebenarnya. Ada 7 kelas yang harus di
sambangi, dan 11 jam pelajaran harus dilalui, dengan ratusan siswa yang
menanti. Rencananya sepulang aktivitas juga mau jenguk adik yang memang sudah 2
minggu ini sakit. Apalagi kondisinya lumayan parah. Gagal ginjal kronis. Mesti
harus diberi semangat. Agar cepat pulih dan sembuh. Namun ternyata saraf otak
dan pikiran bawah sadar ku berkehendak lain. Tidak ada firasat bakalan ketemu
Abah, tapi dorongan hati kok semakin kuat ketika aku coba mengeremnya. “Ok Fer,
jam setengah 5 kita ketemu disimpang Brayan”.
Setelah
serangkaian negosiasi waktu, kami sepakati tempat bertemu. Sore itu aku memilih
mengenakan kostum bergambar Abah dengan senyum ikhlasnya. Kaos bermerk C-59 itu
aku beli dari seorang Dahlanis Medan yang tidak kalah fanatiknya, Ardi Ansari.
Ardi merupakan sosok Dahlanis yang militan. Dia rela “berburu” Abah hingga ke
Tanah Jawa, dengan kocek pribadi. Sangking militannya semua pernak pernik yang
digunakan bergambar Abah. Dari mulai sepatu DI-19, hingga syal. Pun demikian
dengan tas yang dipenuhi pin bergambar Abah. Apalagi akun media sosialnya,
tiada hari tanpa menularkan virus semangat kerjanya Abah. Demi Indonesia. Hotel
Madani disepakati jadi titik kumpulnya Dahlanis Medan.
Rencananya
semua kekuatan dikerahkan, untuk “memutihkan” Istana Maimun, itulah yang aku
dengar dari Ferry, yang nama samarannya di jejaring sosial Abu Ariq Al-mabari.
Jarak dari Brayan ke Hotel Madani tidak sampai 10 kilo meter. Jarak dari Hotel
Madani ke Istana Maimun paling sekitar 200 meter. Diatas kereta (sepeda motor)
imajinasiku bermain, kalau selama ini aku dan Abah dipisahkan jarak ribuan
kilometer, kini mungkin bisa hanya beberapa meter saja. Atau sesuai target,
beberapa millimeter saja.
Untuk
itu kami harus cepat, jika tidak ingin ketinggalan. Mio ijo itu pun kupacu.
Membuntuti Mx-nya Ferry yang tumben hari itu kok cepat. Sangking cepatnya mio
ijoku pun ngos-ngosan ngejernya. Baru teringet kalau terakhir masuk ruang
perawatan lebaran tahun lalu. Artinya sudah 7 bulan nggak dimanjain, nggak
ganti oli. Pantes aja ogah diajak lari, gumamku.
Di Madani,
Ardi sudah standby. Sebagai Koordinator Dahlanis Medan, ia mengkoordinasi
temen-temen Dahlanis untuk bergabung dengan “pasukan semut” lainnya. Dan benar,
dia tidak sendiri. Ditemani seorang Dahlanis wanita yang didampingi suaminya
yang baru aku kenal juga, yang belakangan aku tau namanya Rika Febriyanti.
Kata
Ferry, Rika yang juga Dokter itu sebelas dua belas denganku. Idolain Abah.
Selain dari Medan, juga sudah berkumpul Dahlanis dari Pekanbaru yang baru saja
tiba. Kaki ini pun memulai langkah. Menuju saksi bisu Singgasana Kesultanan
Deli, Istana Maimun, yang dibangun oleh Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa
Alamsyah, pada tahun 1888. Istana yang diarsiteki seorang Italia ini dipilih
menjadi tempat penyelenggara adu debat Konvensi Presiden Partai Demokrat Tahun
2014.
Sore
itu, Istana Maimun yang dominan kuning tiba-tiba “memutih”. Dikanan kiri
sepanjang jalan menuju Istana Maimun terpampang deretan poto 11 peserta
Konvensi. Abah yang paling dominan. Bukan hanya karena poto big size nya, tapi
juga dengan dukungan setia para Dahlanis, yang datang dari segala penjuru dan
kalangan. Juga dari berbagai kumpulan relawan yang memang benar-benar rela.
Mahasiswa hingga pedagang sate keliling, pegawai hingga tukang parkir, tak
ketinggalan juga masyarakat sekitar. Semuanya ingin melihat calon pemimpinnya
dari dekat, Abah Dahlan Iskan.
Tepat
jam 6 sore ketika kru konvensi mengumumkan kedatangan Abah, akibatnya, sontak
membuat “pasukan semut” yang sedari tadi kumpul mengerubungi Abah yang langsung
didaulat ke atas panggung.
Ini
kesempatan emas, jarakku dengan Abah hanya tinggal beberapa meter. Tanpa
komando aku dan Ferry mendekat, demikian juga dengan Rika. Sedangkan Ardi entah
kemana. Janji ketemu dengan Dahlanis yang lain membuat kami melepasnya bebas,
berkelana ke penjuru istana.
Sesaat
kemudian Abah turun panggung. Teriakan Dahlanis yang umunya berusia muda itu
menggiringnya kebawah. Sederetan petugas pengamanan dalam mencoba mengawal
Abah. “Jangan dorong-dorong, tetap dibelakang garis”, ucap salah satu petugas
yang berpakaian safari coklat.
Tapi
emang dasar Abah yang ingin dekat dengan rakyatnya, dan tanpa protokoler,
batasan itu dia langgar. Tanpa disangka-sangka, sesaat setelah turun panggung,
Abah berbaur dengan para Dahlanis. Duduk diatas hamparan rumput. Tanpa ada
batas sama sekali. Petugas hanya bisa bengong. Aku dan Abah dalam jarak yang
dekat. Dekat sekali. Hanya saja, ribuann Dahlanis jadi tembok penghalang.
Aku
lihat Rika menerobos kerumunan, sedangkan Ferry tidak terlihat. Entah kemana.
Ada sekitar 2 menit Abah diatas rumput, berfoto dengan Dahlanis. Beliau
berdiri. Sesaat kemudian (tanpa disangka-sangka juga) Ardi muncul, dan langsung
memeluk Abah. Erat. Sangat erat. Ardi hebat gumamku. Sang Koordinator ini emang
manusia ajaib. Limited edition. Dengan kelebihan bobotnya, ia masih sanggup
nyelip diantara ribuan bahkan ribuan Dahlanis.
Setelahnya,
suasana sedikit terkendali. Ada 2 orang Dahlanis cewek yang mendekati Abah
untuk foto. Termasuk Rika. Tidak hanya foto, Rika yang saat itu lupa dimana
suaminya sempat mencium tangan Abah. Ardi mengambil moment ini.
Saat
itu jarakku dengan Abah hanya 1-2 meter. Tapi tetap terbatas lautan Dahlanis.
Hingga saat itu tiba, dengan mengucap Bismillah, aku dekati Abah. dengan jarak
yang sangat dekat. Kali ini bukan hitungan meter, tetapi millimeter. Aku salami
Abah. dan, tanpa dikomandoin Ardi mengambil foto. Jepret. Akhirnya. Aku bisa
sedekat ini dengan Abah. Sangat dekat. 0 milimeter.
Namun
ini baru 0 milimeter pertama, sepanjang sore hingga malam, aku dan teman-teman
Dahlanis berhasil membuat 3 kali jarak 0 milimeter dengan Abah.
Tubi
Kontinyu….
Post a Comment