Tiga Kali Nol Milimeter Dekat Abah (2)
Abah
pun berlalu. Di sepanjang jalan menuju pintu masuk ke ruang utama Istana
Maimun, Dahlanis terus mengelu-elukan Abah.
Menenggelamkan suara pendukung peserta Konvensi yang lain. Kami ber-empat
kembali susun strategi. Mengingat jarak yang jauh dari Medan ke rumahnya di
Stabat, Rika izin pamit. Baginya, misi hari ini terbilang sukses. Salaman, cium
tangan Abah, plus foto bareng bisa menutupi rasa bingung saat sang suami
“hilang” ditengah ramainya kerumunan masa.
Saat
Rika menjauh, kami “menemukan” Dahlanis Medan yang lain. Bang Jos. Rupanya
sedari tadi dia juga larut dalam kerumunan Dahlanis. Pria asal Samosir ini baru
aku kenal, walaupun akun fesbuknya sudah sering sliweran di grup. Menjelang
maghrib, kami kembali “menemukan” Dahlanis yang lain. Mustar, Mardi, dan
Yusufi. Ketiganya juga baru aku kenal. Selain memiliki kesamaan visi misi,
bertemu dengan teman Dahlanis jelasnya mempererat silaturahmi.
Azan
berkumandang, saat kru Konvensi mengumumkan lokasi musholla untuk sholat
maghrib berjamaah. Setelahnya, kami bertujuh merapat ke Istana. Tampilan Ardi
saat itu bagai anak Pramuka yang akan kemah. Kanan kiri, depan belakang, penuh
dengan barang bawaan. Tak tega membiarkannya tersiksa, aku dan Ferry bergantian
menenteng, mengurangi beban bawaan, termasuk Canon 1100D dan poster.
Beberapa
menit menjelang Konvensi dimulai, kami makin merapat ke halaman depan Istana.
Tepatnya hitungan meter dibawah anak tangga. Disitu, konon, Abah akan melintas.
Para polisi turut mensterilkan area. Membuat pagar betis di tiap beberapa
meter. Sesekali diantaranya menegur kami, untuk tidak melewati batas area
steril.
Tiap
detik berlalu, tim menanti dengan gelisah. Jangan-jangan yang ditunggu melintas
dari areal lain. Ardi terlihat yang paling gelisah. Mukanya terlihat kusam dari
tadi. Bukannya tentang lamanya menunggu. Atau durasi pelukan Abah yang terlalu
singkat, namun sedari tadi ajakannya makan tidak digubris oleh Ferry. Meskipun
Koordinator, Ardi selalu “taat” terhadap Ferry.
Malam
makin melintas. Jam 19.45 waktu itu. Langit malam Kota Medan dirobek oleh
kilatan deretan sinar laser. Beberapa dipanggung depan, sisanya dibelakang,
dengan settingan warna biru putih. Para simpatisan calon lain mulai memenuhi
area di depan panggung utama.
Sambil
berharap, para kontestan Konvensi satu persatu melintas di area yang sedari
tadi kami tongkrongi. Hayono Isman melintas sendiri. Lalu….Abah. Sedetik
berselang, kami bersiap. Spanduk yang dibawa Ardi kami bentang. Ferry dengan
Canon 1100D nya Ardi bersiap diseberang area lintas. Polisi yang berjaga makin
memperketat pengamanan. Saat itu, Abah didampingi oleh beberapa orang yang baru
ini aku lihat.
“Salam Demi Indonesia Abah, kami Dahlanis Medan”, izin foto Abah”. Kalimat seperti itu yang rata-rata keluar dari mulut kami. Rasanya, tak perlu pun dibilang demikian, Abah akan menyalami dan mengajak kami foto. Tapi isyarat itu mesti kami lontarkan, mengingat ada petugas keamanan disana.
“Salam Demi Indonesia Abah, kami Dahlanis Medan”, izin foto Abah”. Kalimat seperti itu yang rata-rata keluar dari mulut kami. Rasanya, tak perlu pun dibilang demikian, Abah akan menyalami dan mengajak kami foto. Tapi isyarat itu mesti kami lontarkan, mengingat ada petugas keamanan disana.
Hitungan
detik berselang, Abah yang malah menggiring kami berfoto, setelah sebelumnya
disalami satu persatu. “Ini kan malam, harusnya menghadap kedepan pantulan
lampu biar keliatan”, kata Abah. Kami pun bingung. Muter kesana-kemari, dengan
poster terbentang. Ferry yang sudah stand by juga terpaksa merubah arah.
Setelah pas pada posisi akhirnya Abah bergabung. Melihat bentangan poster, Abah berjalan keliling. Malah kami yang jadinya ngerepotin. Tapi emang tipe Abah demikian, beliau enjoy aja. Aku mengambil posisi di sebelah kiri Abah. Dekat. Sangat dekat. Tidak berjarak. 0 milimeter. Ini 0 milimeter kedua yang aku dan Dahlanis Medan alami.
Beberapa kali jepret, Abah yang malam itu mengenakan kemeja putih, dasi merah, dilapis jaket hitam itu mengenakan sepatu pantopel. Acara Konvensi memang menuntut Abah berpenampilan resmi. Walaupun dalam hatiku berbisik. Sepatu kets DI-19 nya Abah kemana ya, kepingin jugak kalau dikasi….
Setelah pas pada posisi akhirnya Abah bergabung. Melihat bentangan poster, Abah berjalan keliling. Malah kami yang jadinya ngerepotin. Tapi emang tipe Abah demikian, beliau enjoy aja. Aku mengambil posisi di sebelah kiri Abah. Dekat. Sangat dekat. Tidak berjarak. 0 milimeter. Ini 0 milimeter kedua yang aku dan Dahlanis Medan alami.
Beberapa kali jepret, Abah yang malam itu mengenakan kemeja putih, dasi merah, dilapis jaket hitam itu mengenakan sepatu pantopel. Acara Konvensi memang menuntut Abah berpenampilan resmi. Walaupun dalam hatiku berbisik. Sepatu kets DI-19 nya Abah kemana ya, kepingin jugak kalau dikasi….
Tari
persembahan mengawali puncak acara Konvensi yang dimoderatori oleh Hinca
Panjaitan itu. 6 dari 11 peserta yang hadir di putaran pertama konvensi itu
mengenakan baju kebesaran partai. Hanya Abah yang mengenakan kemeja bebas putih
tidak bercorak. Ini menjadi daya tarik tersendiri. Selebihnya, setiap peserta
menggunakan selendang dan topi khas melayu dengan warna dominan biru muda.
Teman
Dahlanis menilai, debat Konvensi berjalan monoton. Karena peserta memaparkan
rencana yang masih retorika, kecuali Abah. Diantaranya bahkan meluncurkan
wacana yang aku yakin itu bersumber dari Abah. Utamanya masalah energi. Abah
memang pendekar untuk urusan energi. Sebagai mantan dirut PLN beliau hafal
betul peta energi Indonesia. Beliau membahas hingga sedetail-detailnya. Hingga
ke urat akar permasalahannya. Hingga ke cara mencari solusinya. Dan ini hanya milik
Abah.
Kami
mengambil posisi di depan panggung. Aku dan Ardi beberapa kali pindah-pindah
posisi. Bukan aku yang minta, tapi Ardi. Entah kenapa kali ini kok dia gak
nyamanan. Mukanya suntuk. Nggak ada senyumya. Baru keinget kalau perutnya
lapang. Belum diisi. Hingga Ferry datang membawa kabar gembira. Mengajak makan.
Warung
pecel lele di seberang jalan jadi pilihan. Sambil menikmati santapan, lantunan
pendapat dan cecaran pertanyaan sayup sayup terdengar. Tampaknya itu pula yang
membuat selera makan temen-temen berlipat. Kecuali aku dan Ferry, teman
Dahlanis lain semisal Yusufi, Mustar, Bang Jos, dan Ardi nambah. Ardi bahkan 2
kali. Mungkin ia dendam dengan kelapangan posisi di rongga lambungnya.
Sementara di arena konvensi, kami mendengar pertanyaan moderator tentang bencana Sinabung. Abah, yang sehari sebelumnya tidur di barak pengungsian, fasih menjawab. Ia bahkan hafal betul kebutuhan primer, sekunder, dan tersier para korban, termasuk soal sirih. Kebanyakan penduduk Tanah Karo memang menjadikan sirih sebagai kebutuhan pokok, selain sembako. Ini yang membedakan Abah dari yang lain. Benar-benar pemimpin yang mengerti kebutuhan mendasar rakyatnya.
Akhir konvensi menjelang. Beberapa teman Dahlanis mulai beranjak. Tinggal Yusufi dan bang Jos yang setia bersama kami. Ferry yang sedari tadi sms-an dengan pak Aziz (katanya sespri-nya Abah) memberi kabar gembira.
Sementara di arena konvensi, kami mendengar pertanyaan moderator tentang bencana Sinabung. Abah, yang sehari sebelumnya tidur di barak pengungsian, fasih menjawab. Ia bahkan hafal betul kebutuhan primer, sekunder, dan tersier para korban, termasuk soal sirih. Kebanyakan penduduk Tanah Karo memang menjadikan sirih sebagai kebutuhan pokok, selain sembako. Ini yang membedakan Abah dari yang lain. Benar-benar pemimpin yang mengerti kebutuhan mendasar rakyatnya.
Akhir konvensi menjelang. Beberapa teman Dahlanis mulai beranjak. Tinggal Yusufi dan bang Jos yang setia bersama kami. Ferry yang sedari tadi sms-an dengan pak Aziz (katanya sespri-nya Abah) memberi kabar gembira.
“Abah
nginep di Marriot, aku tadi mintak waktu bagi Dahlanis Medan untuk ketemu”,
ucapnya. Sontak ini membuat raut kami berbinar kembali, termasuk Bang Jos. Bang
Jos sedari tadi memang tampak murung. Ku amati, mimiknya nampak pasrah ditengah
kegembiraan. Ternyata setelah ini dia bingung mau tidur dimana, meskipun
beberapa dari kami menawarkan pilihan. Rumahnya memang jauh. Amat jauh bahkan.
Ia berasal dari pulau Samosir, tepatnya Pangururan. Yang dari Medan, jaraknya
sekitar 177 kilometer. Namun kemurungan bang Jos terjawab diakhir tulisan ini.
Peluang membuat hattrick 0 milimeter dengan Abah terbuka lebar.
Jam
22.30 persisnya ketika kami beranjak menuju JW Marriott Medan. Tidak butuh
waktu lama dari Istana Maimun. Apalagi dengan lengangnya lalu-lintas Medan
waktu malam. Tiba dilobi, Ferry kembali sms-an dengan Pak Aziz. Keberadaan Abah
masih misteri. Sms tak kunjung dibalas. Dia coba menghubungi pak Joko Intarto,
kali ini hp-nya off-line. Tidak aktif.
10 menit menikmati sejuknya lobi, sms pak Aziz mengarahkan kami ke restaurant hotel. Meskipun orang Medan, namun rata-rata kami baru ini menginjakkan kaki di Marriott. Hotel yang pengamanannya cukup ketat itu. “Masuk lobi, belok kiri, kemudian belok kanan”, demikian bunyi sms itu.
10 menit menikmati sejuknya lobi, sms pak Aziz mengarahkan kami ke restaurant hotel. Meskipun orang Medan, namun rata-rata kami baru ini menginjakkan kaki di Marriott. Hotel yang pengamanannya cukup ketat itu. “Masuk lobi, belok kiri, kemudian belok kanan”, demikian bunyi sms itu.
Baru
beberapa meter melangkah, muncul orang yang selama ini namanya akrab di
pikiranku. Bersama manufacturing hope-nya Abah dan pak DWO, JTO merupakan
kiblat setiap tulisan yang aku muat di situs pribadi bertema pendidikan SMK,smknews.net. Dengan bertemu pak JTO (Joko Intarto),
hattrick 0 milimeter dengan Abah sangat sangat terbuka.
Setelah
beberapa saat mengobrol di lobi, kami digiring ke restaurant. Disana Abah
sedang menikmati santapannya, semeja dengan beberapa orang yang tidak aku
kenal. Kulihat, ada 3-4 kursi kosong disamping Abah. Aku merinding saat menulis
bagian ini, jika mengingat bernilainya pertemun itu. Bersejarah. Bagi kami
ber-lima.
“Ini
ada anak-anak dari Medan dan Samosir pak, pengen ketemu dan foto”, kata pak JTO
beberapa meter sebelum meja makan. Sendok yang dipegang Abah langsung pindah
kepiring makannya. Padahal belum selesai. Beliau lantas berdiri. Sambil
menyelesaikan kunyahannya, Abah mencari tempat yang agak lapang. Hebat.
Bukannya kami yang mendatangi, malah beliau yang mencari posisi. Padahal ini
bukan orang sembarangan. Menteri.
“Ayo
ayo…sini”, kata Abah. Kami ambil posisi. Jepret. Lantas kami kembali disalami.
Satu persatu. Aku yang pertama. Perasaan grogi, nervous, takut salah, campur
aduk. Sampai sampai salah menyebutkan asalku. Karena takut salah jadinya malah
salah. “Binjai pak”, aku jawab ketika Abah menanyakan asalku. Padahal itu
tempat aku bertugas, asalku asli Medan.
Berikutnya lebih bersejarah. “Pengen peluk Abah”, ucapku nekad. Spontan. Tanpa dinyaya. Juga gak pernah aku duga. Abah langsung merangkul. Erat. Sangat erat. Akupun membalasnya, sambil sesekali mengusap-usap punggung Abah. Kurasakan, kemeja putih kebesaran Abah itu sangat halus. Bener-bener nggak nyangka. Kali ini perasaan lebih bercampur aduk. Bingung mau bilang apa dalam larutan pelukan itu.
Berikutnya lebih bersejarah. “Pengen peluk Abah”, ucapku nekad. Spontan. Tanpa dinyaya. Juga gak pernah aku duga. Abah langsung merangkul. Erat. Sangat erat. Akupun membalasnya, sambil sesekali mengusap-usap punggung Abah. Kurasakan, kemeja putih kebesaran Abah itu sangat halus. Bener-bener nggak nyangka. Kali ini perasaan lebih bercampur aduk. Bingung mau bilang apa dalam larutan pelukan itu.
Ganti
hatinya Abah akhirnya jadi inspirasi. Seperti yang kubaca, sebelum operasi
waktu itu. Dokter memprediksi umur Abah tidak lama. “Jaga kesehatan ya Abah”,
ucapku lirih. Memang aku berharap Abah tetap terus sehat. Bagiku, dan mungkin
bagi yang lain juga, Abah sumber inspirasi. Ikhlasnya Abah bener bener ikhlas.
Tulusnya Abah bener bener tulus. Aku kagum Abah apa adanya. Tidak peduli kelak
akan seperti apa dan jadi apa. Abah yang tulus benar-benar tergambar dieratnya
pelukan itu. Pelukan itu menandai hattrick 0 milimeter ku dan temen-temen
dengan Abah.
Selanjutnya,
Abah mengajak kami ke meja makan. Kami duduk di kursi yang kosong tadi. Disana
dia melanjutkan makanannya, yang masih sisa. Kata Ardi (yang kebagian makanan
Abah malam itu) menunya sop kambing. Dia mengajak kami ikutan makan. Abah
membagikan apa yang dia makan kepada kami, termasuk ikan salmonnya pak JTO.
Kikuk rasanya satu meja makan dengan Abah. Untungnya ada pak JTO. Pengentasan kemiskinan petani jadi topik yang dibahas, termasuk bibit kedelai grobogan itu.
Kikuk rasanya satu meja makan dengan Abah. Untungnya ada pak JTO. Pengentasan kemiskinan petani jadi topik yang dibahas, termasuk bibit kedelai grobogan itu.
Jam
23.45 Abah beranjak kekamar. Wajah lelah Abah memang tidak dapat ditutupi. “Ya
udah kalian lanjut ngobrol ya, besok jam 4 pagi saya harus ke bandara”, kata
Abah. Menjelang beranjak, kejadian yang selama ini hanya dapat aku baca di
tulisannya temen-temen Dahlanis terjadi didepan kami. “Ini ntar sepatunya
dikembaliin ya” kata Abah kepada pak JTO dan rekannya yang aku lupa tanya namanya.
Kamipun yang sudah tahu Abah hanya bisa mesem mesem. “Mau dibalikin kesiapa lah
ini”, geleng pak JTO. Abah menuju ke kamarnya hanya mengenakan kaos kaki,
meskipun dihotel sekelas Marriott.
Diakhir
pertemuan, kami mengucapkan terima kasih kepada Pak JTO atas aksesnya.
Disinilah kegusaran Bang Jos terbayar. Pak JTO menawarkan kamar di hotel
bintang lima, Grand Aston. Meskipun sempat berpikir, akhirnya Bang Jos
mengiyakan.
Benar-benar Selasa yang sempurna. Mudah mudahan tulisan ini bisa menginspirasi.
Benar-benar Selasa yang sempurna. Mudah mudahan tulisan ini bisa menginspirasi.
Suryaman
Amipriono. 24 Januari 2014. 21.20
Pengagum Abah Dahlan Iskan
Pengagum Abah Dahlan Iskan
Post a Comment