Pelajaran Hidup Dari Nenek Penjual Kerupuk Kulit Ikan
Mata wanita tua itu nampak berkaca-kaca. Saat saya lemparkan
pertanyaan: “Kenapa masih jualan nek? Bukannya lebih enak di rumah?”
Tanpa saya sangka, nenek yang semula berdiri sembari
menawarkan dagangannya itu, langsung jongkok. Sambil membolak-balikkan kerupuk
dagangannya, dia bertutur kepada saya.
“Nenek harus terus
cari duit, nak,” katanya lirih.
Jujur, saya jadi merasa bersalah. Jika saya beli saja tanpa
bertanya, mungkin si nenek akan lebih gembira. Ini, dengan pertanyaan itu, si
nenek jadi sedih. Dan malah menceritakan latar belakang kenapa dia harus
berjualan.
“Suami nenek sudah 13 tahun meninggal. Jadi nenek tetap
harus mencari duit,” terang si nenek. Tangan layunya itu tampak menggendong
keranjang plastik yang berisi dagangan: kerupuk
kulit ikan nila. Sementara tampilan wajahnya dibuat ceria. Bedak putih di
wajah senjanya itu, sengaja dibuat tebal. Untuk menutupi kulitnya yang makin
keriput, mungkin, pikir saya.
Saya sendiri tak menyadari kehadiran sang nenek. Tiba-tiba
saja dia sudah berdiri di depan saya, yang minggu itu berolah raga di lapangan
Merdeka, Medan.
“Ini dicicipi contohnya, dirasain biar tau enak atau nggak,”
kata si nenek, sembari menyodorkan toples persegi berisi kerupuk kulit ikan nila. Awalnya saya menolak
menyicipi, meskipun saya berniat membeli. Namun si nenek tetap saja
menyodorkan. Rupanya kerupuk itu memang enak.
“Delapan ribu aja perbungkus nak, ambil dua, lima belas ribu,
kalau mau tiga cukup dua puluh ribu aja,” katanya. Saat proses pembayaran
itulah, saya akhirnya bertanya lebih jauh.
“Nenek dari Binjai, di KM 18,” kata si nenek.
“Loh, jadi kemari (Medan) bagaimana nek?” Tanya saya.
“Naik angkot. Ya namanya cari duit, kemanapun harus
diusahain,’ katanya lagi.
Tatapan matanya masih tajam. Gerakan tangannya juga masih
cukup cekatan. Feeling saya, usia nenek itu di atas 60 hampir 70 tahun. Maklum,
jalannya sudah sedikit membungkuk.
Saya coba untuk tidak berlama-lama dengan si nenek. Karena dagangannya
relatif masih banyak. Dia harus terus berkeliling, untuk membawa pulang rupiah,
bagi keberlangsungan hidupnya.
Saat akan beranjak, saya berujar ke si nenek. “Tetap
semangat ya nek, mudah-mudahan nenek terus sehat. Supaya terus bisa jualan.” Rupanya
ini yang membuat mata si nenek jadi berkaca-kaca lagi.
Si nenek, yang saya lupa mengambil foto dan menanyakan
namanya, memberi saya pelajaran hidup. Tidak ada kata tua untuk berusaha. Minimal
ada satu pelajaran penting lainnya, bahwa mengusahakan rupiah melalui peluh
sendiri, lebih mulia dari sekedar meminta-minta. Dan si nenek membuktikan itu.
Post a Comment